Isnin, 2 April 2012

Terjerat Kecanduan Konsumsi BBM



Gambar : mbarnabas.files.wordpress.com

Kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi rencananya direalisasikan  mulai 1 April 2012 nanti dikhawatirkan akan menimbulkan dampak yang serius. Untuk itu, pemerintah diharapkan mempertimbangkan beberapa kebijakan yang nantinya bisa meredam dampak dari kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut. Pemerintah akan menaikan harga BBM bersubsidi yang sebelumnya Rp 4.500 menjadi Rp 6.000/liter untuk premium dan solar.

Kenaikan harga emas hitam di pasar internasional dipicu oleh adanya konflik antara Iran dan negara-negara barat. Asumsi makro APBN 2012 sebesar USD 90 per barel melonjak menjadi USD 124 per barel. Dalam asumsi makro RAPBN-P 2012 pemerintah mengusulkan perubahan harga dari USD 90 per barel naik menjadi USD 105 per barel.

Harga minyak yang selangit itu tentu akan membebani APBN. Sehingga tidak ada pilihan lain lagi selain mengurangi subsidi BBM, agar anggaran negara tidak demam. Dari kebijakan itu diperkirakan akan bisa menghemat subsidi sekitar Rp 38 triliun. Yang nantinya direncanakan untuk mengkompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi.

Masalah utama dari subsidi BBM adalah pada keseimbangan demand (permintaan) dan supply (penawaran). Besarnya aspek permintaan (meningkatnya konsumsi BBM) yang terus meningkat setiap tahunnya tidak dibarengi dengan penawaran (produksi BBM dalam negeri). Permintaan yang tinggi mengikuti permintaan berbagai sektor pembangunan khususnya industri dan transportasi.

Menurut data Badan Pusat statistik Indonesia, ditahun 2009 jumlah kendaraan (angkutan umum, bis, truk, dan sepeda motor) berjumlah lebih dari 70 juta unit dengan jumlah terbanyak sepeda motor (lebih dari 52 juta unit). Sedangkan pada 2011, jumlah kendaraan mobil bertambah 900 ribu unit dan sepeda motor 850 ribu unit.

Kenaikan subsidi inilah yang pada akhirnya memicu membengkaknya APBN untuk pemberian subsidi BBM. Mari kita lihat data selama empat tahun terakhir mengenai seberapa besar proporsi APBN yang tersedot ke dalam pemberian subsidi. Pada 2009 hanya Rp 45,039 triliun, meningkat Rp. 82,351 pada tahun 2010, melonjak ke Rp 129,723 triliun pada tahun 2011, dan berlanjut meroket tahun ini sebesar Rp. 137,379 triliun.

Lemahnya ketegasan dan pengawasan pemerintah terhadap pemakaian BBM bersubsidi juga menyumbang besarnya konsumsi. Setidaknya ada tiga hal yang harus mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Pertama, masih banyak pengguna BBM bersubsidi dari kalangan menengah keatas. Seharusnya kalangan mampu sudah tidak lagi menggunakan BBM bersubsidi dan beralih menggunakan BBM non subsidi seperti jenis pertamax.

Kedua, maraknya penyelundupan sebagai akibat dari disparitas harga yang lebar antara BBM bersubsidi dan non subsidi serta meningkatknya penimbunan BBM bersubsidi di berbagai daerah, baik jenis premium maupun solar. Hal ini tentu akan menghambat distribusi dan akan menyebabkan kelangkaan BBM di daerah-daerah.

Ketiga, meningkatnya jumlah alat transportasi tidak dibarengi dengan peningkatan infrastruktur yang memadai, khususnya jalan dan jembatan. Hampir 70 persen diantaranya dalam kondisi yang tidak layak alias rusak. Masalah jalan raya ini mendapat perhatian dari laporan Asian Development Bank (ADB), Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki kepadatan jalan terendah di ASEAN, baik setiap seratus orang maupun setiap kilometer persegi. Kondisi ini tentu berbanding 380 derajat dengan kemudahan masyarakat untuk mendapatkan kendaraan yang mereka ingin kan dengan sistem kredit.


Penghematan dan konversi BBM

Jika hal ini terus berlanjut, sudah pasti akan menimbulkan berbagai masalah yang nantinya bakal lebih rumit lagi. Sehingga dengan adanya kenaikan BBM ini sudah seharusnya pemerintah memanfaatkannya untuk mematangkan lagi berbagai kebijakan yang bisa menyentuh pada akar permasalahan. Pertama, pemberian subsidi BBM hendaknya perlu diberikan hanya kepada sektor-sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak. Diantaranya, prioritas untuk sektor angkutan barang, kendaraan umum, transportasi air, usaha kecil menengah, dan nelayan/perikanan. Prioritas untuk sektor pertanian, karena di Indonesia banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian ini. Prioritas yang terakhir adalah pemberian subsidi yang selektif hanya kepada industri-industri yang bisa mencapai output produksi tertentu yang boleh menikmati subsidi BBM, sehingga efisiensi pun bisa tercapai.

Kedua, upaya pemerintah dalam penghematan BBM bersubsidi melalui energi terbarukan harus terus diupayakan. Mengingat pemerintah sudah mempunyai blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025. Targetnya 2025 konsumsi BBM turun menjadi 26,2 persen. Sementara yang 73,9 persen harus berasal dari energi alternatif yang lain.

Sebenarnya sudah banyak dikembangkan energi alternatif yang dikembangkan di seluruh dunia. Menggantikan energi fosil yang perlahan mulai langka keberadaannya dengan harga yang cenderung terus meningkat setiap tahunnya. Setidaknya ada 8 sumber energi alternatif yang siap digunakan sebagai pengganti BBM. Seperti, Ethanol, Gas Alam, Listrik, Hidrogen, Propana, Biodiesel, Methanol dan P-Series.

Di Indonesia sendiri sudah banyak yang dikembangkan dan mulai akan digunakan secara masal. Pemerintah bakal mengkonversi penggunaan BBM bersubsidi ke bahan bakar gas (BBG) jenis compressed natural gas (CNG) dan liquefied gas for vehicle (LVG) atau Vi-Gas. Akan tetapi terbentur masalah infrastruktur keberadaan SPBU gas di berbagai daerah.

Terlepas dari kehebohan nasional antara pro dan kontra dari kenaikan harga BBM bersubsidi, sudah saatnya bangsa ini untuk melakukan penghematan dan tidak menghambur-hamburkan energi nasional. Sudah tidak pantas lagi masyarakat kecanduan mengkonsumsi BBM bersubsidi. Jalan yang lebih terang menanti yakni untuk berpindah ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dengan harga yang relatif lebih rendah dibanding energi fosil.







Daftar Pustaka :
Koran Jawa Pos. Kamis, 15 Maret 2012.
Koran Bisnis Indonesia. Kamis, 15 Maret 2012.
Koran Media Indonesia. Kamis, 15 Maret 2012.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan