Oleh : Toni Prasetyo Utomo
http://toniprasetyo.blogspot.com |
Bagai buah simalakama, di satu sisi, masuknya
peritel asing itu akan berdampak positif terhadap perekonomian nasional. Disisi
lain, hal tersebut sangat berpotensi mematikan pasar tradisional. Dampak
negatif pertumbuhan ritel modern yang tumbuh semakin pesat belakangan ini,
khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, mulai dirasakan
banyak pedagang tradisional. Hasil diskusi diantara pengamat ritel Indonesia
Koestarjono Prodjolalito dan sejumlah pedagang alat-alat listrik tradisional
menunjukkan, banyaknya macam/merek barang yang ditawarkan hypermarket, termasuk
alat-alat listrik mengancam usaha mereka. Dia berpendapat, kelangsungan usaha
pasar tradisional sekarang tidak mencerminkan daya saing yang sesungguhnya di
tengah pesatnya pembangunan pusat perdagangan atau pasar ritel modern (BI,
2003). Survei juga menunjukkan, pasarmodern di Indonesia tumbuh 31,4 persen per
tahun, sedangkan pasar tradisional malah menurun 8 persen setiap tahun. Bila
hal itu dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin pasar tradisional hanya
menyisakan nama.
Menjamurnya jaringan pasar modern yang bergerak
di bidang bisnis ritel, seperti hipermarket, supermarket, minimarket,
dikhawatirkan akan menjadi ancaman serius keberadaan pasar tradisional.
Kehadiran pasar modern, dengan sistem waralaba (franchise) yang sudah merambah hingga perkampungan, sangat
berpotensi meminggirkan keberadaan pasar tradisional, bahkan tidak mustahil
bila saatnya akan memusnahkan eksistensi pasar tradisional.
Proses peminggiran dan pemusnagan terhadap pasar
tradisional sesungguhnya telah berlangsung secara sistematis dan berkelanjutan
yang dilakukan dengan sangat kompak oleh koalisi strategis antara pemilik modal
dan oknum birokrasi. Sedikitnya ada dua modus operandi yang selama ini telah
digunakan oleh koalisi strategis itu dalam melakukan upaya peminggiran dan
pemusnahan terhadap pasar tradisional.
Modus pertama, “pengambilalihan” secara paksa
sejumlah pasar tradisional untuk digantikan dengan pasar modern, seperti
hipermarket dan supermarket. Dalam pengambilan paksa tersebut pedagang pasar
tradisional tidak bisa berkutik sama sekali menghadapi tekanan dari pihak
koalisi strategis, sehingga mereka harus rela terpinggirkan.
Modus operandi kedua adalah “pengepungan”
terhadap pasar tradisional dengan pendirian mall,
supermarket, dan mini market waralaba disekeliling pasar tradisional. Akibat
pengepungan tersebut, jumlah pengunjung pasar tradisional semakin menurun
secara drastis, lantaran berpindah belanja ke pasar modern.
Pasar modern juga menawaekan berbagai keunggulan
bersaing yang tidak dimiliki oleh pasar tradisional. Selain menawarkan konsep one stop shopping dan kenyamanan dalam
berbelanja, yang didukung keunggulan teknologi dan manajemen, pasar modern juga
menggunakan instrumen harga dalam bersaing (competing
on price). Harga berbagai produk yang dijual di pasar modern justru lebih
lebih murah dibanding harga jual produk yang sama yang dijual di pasar
tradisional. Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh pasar modern
tersebut, sepertinya mustahil bagi pedagang pasar tradisional untuk bisa
bertahan menghadapi gempuran persaingan yang tidak seimbang. Bak petinju kelas
berat versus petinju kelas bulu.
Pasar
tradisional merupakan pasar yang memiliki keunggulan bersaing alamiah yang
tidak dimiliki langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area
penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem
tawar-menawar yang menunjukan sikap keakraban antara penjual dan pembeli
merupakan keunggulan tersendiri yang dimiliki pasar tradisional. Sisi
kekeluargaan antara pembeli dan penjual menjadi satu pemandangan yang indah
kala berada di pasar dan bahkan ada juga yang namanya langganan dan itu bisa
menjadi hubungan yang tidak bisa terpisahkan bagaikan persaudaraan yang sudah
sangat dekat sekali. Selain itu, pasar tradisional juga merupakan salah satu
pendongkrak perekonomian kalangan menengah ke bawah, dan itu jelas memberikan
efek yang baik bagi negara.
Dibalik
kelebihan yang dimiliki pasar tradisional ternyata tidak didukung oleh pihak
pemerintah, salah satunya terlihat pemerintah lebih membanggakan adanya pasar
modern dari pada pasar tradisional, yang itu dilakukan dengan cara “mengusir”
satu per satu pasar tradisional dengan cara dipindahkan dari tempat yang layak
ke tempat yang jauh dan kurang refresentatif. Pasar tradisional sendiri juga memiliki
berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah.
Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keberagaman
dan kualotas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas,
serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar
tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.
Kondisi ini
diperburuk dengan citra pasar tradisional yang dihancurkan oleh segelintir
oknum pelaku dan pedagang di pasar. Maraknya informasi produk barang yang
menggunakan zat kimia berbahaya serta relatif mudah diperoleh di pasar
tradisional, praktek penjualan daging oplosan, serta kecurangan-kecurangan lain
dalam aktifitas penjualan dan perdagangan telah meruntuhkan kepercayaan
konsumen terhadap pasar tradisional.
Beberapa
pasar tradisional yang "legendaris" antara lain adalah pasar
Beringharjo di Jogja, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang, dan Pasar
Tanah Abang di Jakarta. Pasar tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba
bertahan menghadapi serangan dari pasar modern. Akan tetapu, pasar yang berada
di daerah pedesaan cenderung sudah tergilas dan termakan oleh waktu. Banyak
pasar tradisional kecil yang sudah hilang karena tidak mampu bertahan karena
dominasi pasar modern yang kian kuat dan berkembang pesat.
Kelebihan pasar Modern dibanding pasar tradisional
cukup jelas, mereka memiliki banyak keunggulan yakni nyaman, bersih serta
terjamin. Yang itu membuat para konsumen mau membeli ke pasar modern. AC,
bersih, kenyamanan dan mempunyai gengsi yang tinggi menjadi andalan dari pasar
modern, dan hal itu tidak dimiliki oleh pasar tradisional. Bahkan kalau kita
melihat tidak ada kelemahan dari pasar modern ini. Dengan modal yang cukup
besar mereka bisa melakukan apa saja untuk makin mempercantik penampilannya.
Hendri Ma`ruf (2005) dalam bukunya yang berjudul
Pemasaran Ritel: Konsep yang muncul berikutnya dalam industri ritel adalah one stop shopping, yaitu suatu tempat
berbelanja yang memenuhi semua kebutuhan individu dan keluarga. Seiring dengan
ini adalah muncul suatu model yang berkembang, yaitu chainstore. Chainstore adalah bersatunya beberapa gerai yang
beroperasi di wilayah-wilayah yang berbeda dalam pengelolaan manajemen. Karena
bersatu dalam satu tangan manajemen, gerai-gerai itu serupa dalam hal tampilan
(luar dan dalam), barang-barang yang dijual, dan dalam hal sistem
operasionalnya.
Pasar Modern sebenarnya adalah usaha dengan tingkat
keuntungan yang tidak terlalu tinggi, berkisar 7-15% dari omset. Namun bisnis
ini memiliki tingkat likuiditas yang tinggi, karena penjualan ke konsumen
dilakukan secara tunai, sementara pembayaran ke pemasok umumnya dapat dilakukan
secara bertahap. Seperti ritel modern lainnya, Pasar Modern umumnya memiliki
posisi tawar yang relatif kuat terhadap pemasok-pemasoknya. Ini karena peritel
modern, umumnya adalah perusahaan dengan skala yang cukup besar dan saluran
distribusi yang luas, sehingga pembelian barang ke pemasok dapat dilakukan
dalam jumlah yang besar. Posisi tawar yang kuat memberi banyak keuntungan bagi
peritel modern. Selain bisa mendapatkan kemudahan dalam hal jangka waktu
pelunasan barang, diskon harga juga akan semakin mudah diperoleh dengan posisi
tawar yang kuat tersebut. (Marina L. Pandin, 2009)
Jika dikelola dengan
baik, pasar tradisional pastinya akan mampu menjadi sumber pendapatan yang
signifikan bagi pemerintah daerah/kabupaten/kota. Agus Sulaiman (dalam http://ekonomi. kompasiana.com/, 2011) menyebutkan bahwa dengan
pendapatan yang tinggi tentunya akan
memberikan multiplier effect ke sendi-sendi kehidupan yang lain. Dan tanpa
adanya kepedulian pemerintah daerah/kabupaten/kota pasar tradisional akan
berkebang sekehendak hatinya. Pasar menjadi semrawut dan tak terkontrol.
Tentunya kesemrawutan ini juga akan menyumbang multiplier effect (dalam konteks
negative tentunya) dalam sendi kehidupan yang lainnya. Jalanan menjadi macet
akan menyumbangkan naiknya biaya transportasi, pasar yang kumuh akan menyumbangkan
maraknya berbagai macam penyakit serta akan ditinggalkan konsumennya. Pada
titik yang paling ekstreem pembiaran ini akan membunuh keberadaan pasar
tradisional itu sendiri, bukan hal yang mustahil pasar tradisional hanya
tinggal sejarah. Yang lebih mengkhawatirkan lagi akan meningkatnya jumlah
pengangguran.
Keberadaan
pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan
yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada
titik terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar modern yang notabene dimiliki
oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar
tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya
menguasai bisnis ritel di Indonesia.
Jika dibandingkan lebih lanjut dengan ritel asing
(pasar modern) Berdasar data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2010,
jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 13.450 pasar dengan jumlah
pedagang sekitar 12.625.000 orang. Jika dibanding pasar-pasar modern yang
dikuasai ritel asing dengan jumlah tenaga kerja lebih sedikit, sesungguhnya
pasar tradisional sangat berpotensi untuk menggerakkan perekonomian daerah
serta menyerap tenaga kerja.
Merujuk data
ekonomi nasional dalam lima tahun belakangan ini, industri ritel memiliki kontribusi
terbesar kedua terhadap GDP setelah industri pengolahan. Bahkan, dalam
penyerapan tenaga kerja, industri ritel berada di posisi kedua setelah sektor
pertanian. Karena itu, industri ritel dapat dikatakan sebagai industri yang
menguasai hajat hidup orang banyak. Alasannya, hampir 10 persen penduduk
Indonesia menggantungkan hidupnya dengan berdagang.
Apalagi,
menurut data Kemenakertrans 2011, angkatan kerja masih didominasi tenaga kerja
berpendidikan SD ke bawah. Jumlah pekerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah
mencapai 54,2 juta orang atau 49,90 persen. Kebanyakan angkatan kerja tersebut
hanya mampu ditampung industri ritel selain sektor pertanian, khususnya pasar
tradisional. Sayangnya, realita yang berkembang menunjukkan, pasar tradisional
seakan “mati suri”, kalah bersaing dengan ritel asing. Akibatnya, berdasar
hasil pengamatan di lapangan, banyak pasar tradisional di daerah yang gulung
tikar.
Selain itu
APPSI melaporkan, omzet pasar tradisional di DKI Jakarta merosot hingga 60
persen setelah kehadiran ritel asing, khususnya hypermarket. Imbasnya,
tingkat hunian pasar tradisional tersebut sangat strategis. Kondisi yang tak
jauh berbeda terjadi di Kota Malang yang terkenal sebagai sentral pasar
tradisional di Jawa Timur. Dikabarkan, omzet pasar tradisional di sana merosot
hingga 30 persen.
Pada 2005, omzet ritel modern tercatat Rp 42 triliun, kemudian meningkat
lagi pada 2006 menjadi Rp 50,8 triliun dan pada 2008 meningkat menjadi Rp 58,5
triliun. Yang terbaru, pada 2012, bakal ada 3 ritel asing yang berekspansi ke
Indonesia. Yakni, Family Mart dan Lawson. Keduanya merupakan peritel raksasa
dari Korea Selatan dan Jepang. Satu lainnya membuka hypermarket atau sekelas grosir, yakni Metro AG
yang berpusat di Jerman.
Pada umumnya, di negara-negara Dunia Ketiga terdapat sejumlah faktor
yang tidak memungkinkan mereka untuk terlalu mengandalkan mekanisme pasar dalam
rangka mengembangkan diri seperti yang dilakukan oleh negara-negara yang
tergolong sebagai industri maju selama tahap-tahap awal pembangunannya. Mungkin
alasan yang paling penting adalah bahwa pasar-pasar dikebanyakan negara-negara
berkembang diliputi ketidaksempurnaan (Arndt dalam Todaro, 2006)
Salah satu ketidaksempurnaan itu adalah kurang informasi dan besarnya
ketidakpastian yang dihadapi oleh para produsen dan konsumen. Oleh karena itu,
dibanyak negara-negara berkembang, produsen sering kali merasa tidak pasti
mengenai ukuran pasar setempat, mengenai keberadaan produsen lainnya, dan
mengenai keberadaan input (faktor-faktor produksi), baik yang dari dalam negeri
maupun impor.
Sebenarnya, akar permasalahan industri ritel di Indonesia adalah market power ritel asing yang sangat
kuat dan tinggi. Karena itu, terjadi ketidakseimbangan dalam bersaing antara
ritel asing dan pasar tradisional/ritel kecil. Konsekuensinya, bergaining position (posisi tawar) pasar
tradisional sangat rendah di mata konsumen dan publik.
Melihat secara kritis market
power yang merupakan “akar masalah”. Seperti yang dibicarakan diatas
semakin tersingkirnya pasar tradisional disebabkan oleh beberapa faktor. Yaitu,
pertama, masih buruknya infrastruktur kelembagaan pasar tradisional. Pada
umumnya, pengembangan kelembagaan pasar tradisional masih dikelola secara
tradisional dan bersifat seadanya saja sehingga kurang profesional.
Kedua, masih belum adanya payung
hukum berupa peraturan perundangan-undangan yang memberikan sanksi tegas dan
keras terhadap pelanggar regulasi industri ritel. Meskipun pemerintah telah
menerbitkan Perpres Nomor 112 Tahun2007 tentang penataan dan pembinaan Pasar Tradisional,
Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan serta Permendag Nomor 53 Tahun 2008 tentang
Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat
Perbelanjaan untuk mengatur regulasi industri ritel nasional, dalam
implementasinya, bahwa setiap usaha
toko modern harus dapat Izin Usaha Toko Modern (IUTM), bukan SIUP (Surat Izin
Usaha Perdagangan) lagi.
Bahkan, lebih parahnya, masih ada bebeerapa daerah
yang tidak mengetahui adanya dua peraturan tersebut dalam industri ritel.
Alasan utama ketidakefektifan dua peraturan perundangan dalam pengaturan zonasi
maupun pembatasan lainnya, umumnya, disebabkan belum jelasnya sanksi dan
penegak hukum bagi pelanggarnya. Dalam
peraturan itu, pembukaan atau permintaan izin pembukaan toko ritel modern baru
harus memperhatikan beberapa hal. Di antaranya jarak dan lokasi di mana
sebelumnya sudah ada pasar tradisonal yang berdiri. Selain itu ritel modern
juga harus membuat rencana kemitraan dengan usaha mikro dan kecil di areal
lokasi tersebut.
Meski banyak aturan yang kini semakin mempersempit ruang gerak
peritel modern, di lapangan tak menyurutkan niat mereka untuk terus
berekspansi. Indomaret misalnya, salah satu dari dua penguasa pasar minimarket
di Indonesia tersebut kini justru berancang-ancang menambah jumlah outletnya
hingga mencapai 600 gerai baru di seluruh Indonesia. Pertumbuhan fenomenal
ritel modern, salah satunya diakibatkan gencarnya penetrasi ritel asing ke
Indonesia. Data BisInfocus 2008 menyebutkan, jika pada 1970-1990 pemegang merek
ritel asing yang masuk ke Indonesia hanya lima, dengan jumlah 275 gerai, tahun
2004 sudah 14 merek ritel asing yang masuk, dengan 500 gerai. Tahun 2008, merek
ritel asing yang masuk sudah 18, dengan 532 gerai (http://indocashregister.com, 2011).
Beberapa
negara yang sukses melakukan best practices dalam pengelolaan dan pengaturan
industri ritel melalui pembuatan UU ritel, antara lain, Jepang yang
mengeluarkan pedoman mengenai unfair trade yang berisi code of conduct
masing-masing pelaku, baik peritel maupun pemasok, serta Korea yang mempunyai
regulasi berupa Korean
Monopoly Regulation and Fair Trade Act, khususnya pada article 36 (1) dan
(2), yang bertujuan mengidentifikasi kriteria peritel besar yang melakukan
praktik perdangangan tidak adil dengan mengambil keuntungan dari bargaining position-nya. Yang
kuat terhadap peritel lainnya.
Ketiga,
lemahnya political will pemerintah daerah. Hal itu tampak dari rendahnya
dukungan serta keberpihakan pemerintah daerah dalam pembangunan fisik pasar
tradisional di daerah sangat memprihatinkan, kumuh, sempit, becek, bau tak
sedap, serta banyak bangkai tikus, asap pembakaran, sampah dan lain-lain.
Pembangunan fisik pasar baru dilakukan oleh pemerintah jika pasar tersebut
sudah benar-benar ambruk termakan waktu atau sesudah terjadi kebakaran pasar
saja.
Tak salah,
menurut keterangan Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo), pada 2010
masih terdapat sekitar 9000 pasar yang bangunannya sudah tua dan lebih dari 20
tahun tida tersentuh renovasi. Sebanyak 70 persen dari 13.000 bangunan
pasar di Indonesia sudah berumur lebih dari 20 tahun. Malahan, ada yang 30
tahun dan tak kunjng ada perbaikan. Selain itu, lemahnya “political will”
pemerintah daerah yang begitu longgar dan leluasa dalam memberikan izin
berdirinya ritel-ritel baru turut mempercepat menjamnurnya ritel modern di
daerah.(dalam Agus Suman, 2011).
Untuk
menghindari semakin tersisihnya pasar tradisional dalam era persaingan
perdagangan bebas saat ini, pemerintah harus segera melakukan upaya-upaya
cerdas dan strategis untuk melindungi pasar tradisional. Setidaknya ada 3 upaya
yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah proses kepunahan pasar
tradisional akibat gempuran ritel asing (pasar modern).
Pertama,
intervensi pemerintah melalui regulasi yang memberikan pembatasan wilayah bagi
beroperasinya pasar modern, terutama ritel asing yang merupakan jaringan besar
dengan sistem waralaba. Selain itu, perlu diatur jarak/zonasi dalam radius
tertentu bagi pendirian dan pengoperasian pasar modern, misalnya, zonasi kawasan, zonasi jarak, dan zonasi
rasio penduduk. Regulasi tersebut harus benar-benar ditegaskan secara
konsisten dengan pengawasan yang ketat agar bisa dilaksanakan dalam rangka
melindungi pedagang pasar tradisional dari persaingan tidak seimang dengan
pasar modern.
Kedua,
pemerintah harus berupaya untuk menata ulang pasar tradisional, baik untuk
memperbaiki penampilan yang lebih baik, maupun untuk menciptakan kenyamanan
dalam berbelanja di pasar tradisional. Dalam penataan ulang ini, jangan sampai
terjadi adanya penggusuran bagi pedagang yang selama ini sudah menempati pasar
tradisional selama bertahun-tahun. Untuk itu, pemerintah harus memberikan
bantuan dan jaminan bagi pedagang kecil sehingga masih bisa menempati tempat
berjualan mereka setelah pasar tradisional direnovasi.
Ketiga,
pemerintah harus berupaya menjabatani bagi pedagang pasar tradisional untuk
bisa menjadi pemasok bagi pasar modern. Memang, ada beberapa jaringan pasar
modern yang memberikan kesempatan bagi pedagang kecil untuk menjadi mitra usaha
pasar modern sebagai pemasok. Namun, dalam prakteknya bukanlah hal yang mudah
bagi pedagang kecil untuk bisa memenuhi persyaratan “njlimet” yang ditetapkan
jaringan pasar modern untuk dapat menjadi mitra usaha. Misalnya, yang dilakukan pemerintah Thailand
untuk memberdayakan usaha kecil ritel dengan mendirikan perusahaan negara atau
BUMN nonprofit Allied Retail Trade Co (ART Co) dengan modal kerja sekitar USD
9,1 juta. Perusahaan tersebut bertugas membeli barang dari pabrikan dan
kemudian disalurkan ke jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya.(Agus
Suman, 2011).
Terlepas
dari berbagai solusi tersebut, Tidak mustahil, keberadaan pasar tradisional
akan mengalami kepunahan. hal utama yang paling dibutuhkan adalah komitmen
keberpihakan kepada pedagang pasar tradisional yang disertai niat dan langkah
serius pemerintah untuk benar benar bisa mempertahankan keberadaan pasar
tradisional dari serbuan ritel asing.
Daftar
Pustaka
Akadsolo, “Pasar Tradisional
vs Pasar Modern.” http://titik.dagdigdug.com/?p=26.
1 April 2009
Kuncoro,
Mudrajad. Ekonomika Pembangunan: Teori,
Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP)
STIMYKPN d/h AMP YKPN, 2006.
Ma`aruf, Hendri. Pemasaran Ritel. Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama, 2005.
Mesinkasir.“Pertumbuhan
Ritel Modern di Surabaya sudah
Meresahkan (Over Capacity).” http://indocashregister.com. 23 Januari 2011.
Pandin, Marina L. “Potret
Bisnis Ritel di Indonesia : Pasar Modern.” http://www.bni.co.id/
Portals/0/Document/Ulasan%20Ekonomi/Pasar%20Modern.pdf. Maret 2009
Radhi, Fahmy, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat. Jakarta: Republika,
2008.
Sulaiman, Agus. “Meningkatkan
Daya Saing Pasar Tradisional.” http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis
/2011/11/15/meningkatkan-daya-saing-pasar-tradisional/. 15 November 2011.
Suman, Agus. Ritel Asing v Pasar Tradisional. Jawa
Pos kolom Opini, Jumat 16 Desember 2011.
Todaro,
Michael P. dan Stephen C. Smith. Pembangunan
Ekonomi, Edisi Kesembilan, Jilid 2. Jakarta: Erlangga. 2006.
Semoga pasar tradisional masih tetap ada om, karena jelas terjamin kemurahanya :ngakak
BalasPadam==
koment + follow balek blog ane ya om :D
webawang.blogspot.com
semoga saja begitu bang,, kalo sampe tergusung makin banyak yg nganggut lagi nanti :(
BalasPadamokeee gan..
Saya berharap pemerintah melindungi pasar tradisional dengan subsidi. Kalo gak bisa ilang pasar tradisional digantiin pasar modern yang sewanya mahal.
BalasPadamhttp://alrisblog.wordpress.com/