Isnin, 9 April 2012

Ritel Asing Mengancam Pasar Tradisional



http://toniprasetyo.blogspot.com
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, perekonomian dunia telah semakin terkait, melalui perdagangan internasional yang meluas dalam jasa maupun barang primer dan barang manufaktur, melalui investasi fortofolio seperti pinjaman internasional dan pembelian saham, melalui investasi langsung, khususnya dalam perusahaan multinasional besar. Indonesia dengan jumlah penduduk yang lebih dari 250 juta, ditambah kunjungan wisatawan manca negara sekitar 5 juta per tahun merupakan suatu pasar yang potensial. Dominasi asing tampaknya semakin tak terbendung dalam perekonomian nasional. Selain menguasai hampir semua sektor ekonomi strategis (keuangan, perbankan, energi, pangan dan lain-lain), asing juga menguasau pasar perdagangan lokal. Fakta menunjukan, perkembangan pangsa pasar ritel modern yang mayoritas dimiliki asing meningkat signifikan setiap tahun.

Bagai buah simalakama, di satu sisi, masuknya peritel asing itu akan berdampak positif terhadap perekonomian nasional. Disisi lain, hal tersebut sangat berpotensi mematikan pasar tradisional. Dampak negatif pertumbuhan ritel modern yang tumbuh semakin pesat belakangan ini, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, mulai dirasakan banyak pedagang tradisional. Hasil diskusi diantara pengamat ritel Indonesia Koestarjono Prodjolalito dan sejumlah pedagang alat-alat listrik tradisional menunjukkan, banyaknya macam/merek barang yang ditawarkan hypermarket, termasuk alat-alat listrik mengancam usaha mereka. Dia berpendapat, kelangsungan usaha pasar tradisional sekarang tidak mencerminkan daya saing yang sesungguhnya di tengah pesatnya pembangunan pusat perdagangan atau pasar ritel modern (BI, 2003). Survei juga menunjukkan, pasarmodern di Indonesia tumbuh 31,4 persen per tahun, sedangkan pasar tradisional malah menurun 8 persen setiap tahun. Bila hal itu dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin pasar tradisional hanya menyisakan nama.

Menjamurnya jaringan pasar modern yang bergerak di bidang bisnis ritel, seperti hipermarket, supermarket, minimarket, dikhawatirkan akan menjadi ancaman serius keberadaan pasar tradisional. Kehadiran pasar modern, dengan sistem waralaba (franchise) yang sudah merambah hingga perkampungan, sangat berpotensi meminggirkan keberadaan pasar tradisional, bahkan tidak mustahil bila saatnya akan memusnahkan eksistensi pasar tradisional.

Proses peminggiran dan pemusnagan terhadap pasar tradisional sesungguhnya telah berlangsung secara sistematis dan berkelanjutan yang dilakukan dengan sangat kompak oleh koalisi strategis antara pemilik modal dan oknum birokrasi. Sedikitnya ada dua modus operandi yang selama ini telah digunakan oleh koalisi strategis itu dalam melakukan upaya peminggiran dan pemusnahan terhadap pasar tradisional.

Modus pertama, “pengambilalihan” secara paksa sejumlah pasar tradisional untuk digantikan dengan pasar modern, seperti hipermarket dan supermarket. Dalam pengambilan paksa tersebut pedagang pasar tradisional tidak bisa berkutik sama sekali menghadapi tekanan dari pihak koalisi strategis, sehingga mereka harus rela terpinggirkan.

Modus operandi kedua adalah “pengepungan” terhadap pasar tradisional dengan pendirian mall, supermarket, dan mini market waralaba disekeliling pasar tradisional. Akibat pengepungan tersebut, jumlah pengunjung pasar tradisional semakin menurun secara drastis, lantaran berpindah belanja ke pasar modern.

Pasar modern juga menawaekan berbagai keunggulan bersaing yang tidak dimiliki oleh pasar tradisional. Selain menawarkan konsep one stop shopping dan kenyamanan dalam berbelanja, yang didukung keunggulan teknologi dan manajemen, pasar modern juga menggunakan instrumen harga dalam bersaing (competing on price). Harga berbagai produk yang dijual di pasar modern justru lebih lebih murah dibanding harga jual produk yang sama yang dijual di pasar tradisional. Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh pasar modern tersebut, sepertinya mustahil bagi pedagang pasar tradisional untuk bisa bertahan menghadapi gempuran persaingan yang tidak seimbang. Bak petinju kelas berat versus petinju kelas bulu.

Pasar tradisional merupakan pasar yang memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar-menawar yang menunjukan sikap keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan tersendiri yang dimiliki pasar tradisional. Sisi kekeluargaan antara pembeli dan penjual menjadi satu pemandangan yang indah kala berada di pasar dan bahkan ada juga yang namanya langganan dan itu bisa menjadi hubungan yang tidak bisa terpisahkan bagaikan persaudaraan yang sudah sangat dekat sekali. Selain itu, pasar tradisional juga merupakan salah satu pendongkrak perekonomian kalangan menengah ke bawah, dan itu jelas memberikan efek yang baik bagi negara.

Dibalik kelebihan yang dimiliki pasar tradisional ternyata tidak didukung oleh pihak pemerintah, salah satunya terlihat pemerintah lebih membanggakan adanya pasar modern dari pada pasar tradisional, yang itu dilakukan dengan cara “mengusir” satu per satu pasar tradisional dengan cara dipindahkan dari tempat yang layak ke tempat yang jauh dan kurang refresentatif. Pasar tradisional sendiri juga memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keberagaman dan kualotas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.

Kondisi ini diperburuk dengan citra pasar tradisional yang dihancurkan oleh segelintir oknum pelaku dan pedagang di pasar. Maraknya informasi produk barang yang menggunakan zat kimia berbahaya serta relatif mudah diperoleh di pasar tradisional, praktek penjualan daging oplosan, serta kecurangan-kecurangan lain dalam aktifitas penjualan dan perdagangan telah meruntuhkan kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional.

Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara lain adalah pasar Beringharjo di Jogja, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang, dan Pasar Tanah Abang di Jakarta. Pasar tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan menghadapi serangan dari pasar modern. Akan tetapu, pasar yang berada di daerah pedesaan cenderung sudah tergilas dan termakan oleh waktu. Banyak pasar tradisional kecil yang sudah hilang karena tidak mampu bertahan karena dominasi pasar modern yang kian kuat dan berkembang pesat.

Kelebihan pasar Modern dibanding pasar tradisional cukup jelas, mereka memiliki banyak keunggulan yakni nyaman, bersih serta terjamin. Yang itu membuat para konsumen mau membeli ke pasar modern. AC, bersih, kenyamanan dan mempunyai gengsi yang tinggi menjadi andalan dari pasar modern, dan hal itu tidak dimiliki oleh pasar tradisional. Bahkan kalau kita melihat tidak ada kelemahan dari pasar modern ini. Dengan modal yang cukup besar mereka bisa melakukan apa saja untuk makin mempercantik penampilannya.

Hendri Ma`ruf (2005) dalam bukunya yang berjudul Pemasaran Ritel: Konsep yang muncul berikutnya dalam industri ritel adalah one stop shopping, yaitu suatu tempat berbelanja yang memenuhi semua kebutuhan individu dan keluarga. Seiring dengan ini adalah muncul suatu model yang berkembang, yaitu chainstore. Chainstore adalah bersatunya beberapa gerai yang beroperasi di wilayah-wilayah yang berbeda dalam pengelolaan manajemen. Karena bersatu dalam satu tangan manajemen, gerai-gerai itu serupa dalam hal tampilan (luar dan dalam), barang-barang yang dijual, dan dalam hal sistem operasionalnya.

Pasar Modern sebenarnya adalah usaha dengan tingkat keuntungan yang tidak terlalu tinggi, berkisar 7-15% dari omset. Namun bisnis ini memiliki tingkat likuiditas yang tinggi, karena penjualan ke konsumen dilakukan secara tunai, sementara pembayaran ke pemasok umumnya dapat dilakukan secara bertahap. Seperti ritel modern lainnya, Pasar Modern umumnya memiliki posisi tawar yang relatif kuat terhadap pemasok-pemasoknya. Ini karena peritel modern, umumnya adalah perusahaan dengan skala yang cukup besar dan saluran distribusi yang luas, sehingga pembelian barang ke pemasok dapat dilakukan dalam jumlah yang besar. Posisi tawar yang kuat memberi banyak keuntungan bagi peritel modern. Selain bisa mendapatkan kemudahan dalam hal jangka waktu pelunasan barang, diskon harga juga akan semakin mudah diperoleh dengan posisi tawar yang kuat tersebut. (Marina L. Pandin, 2009)

Jika dikelola dengan baik, pasar tradisional pastinya akan mampu menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi pemerintah daerah/kabupaten/kota. Agus Sulaiman (dalam http://ekonomi. kompasiana.com/, 2011) menyebutkan bahwa dengan pendapatan yang tinggi  tentunya akan memberikan multiplier effect ke sendi-sendi kehidupan yang lain. Dan tanpa adanya kepedulian pemerintah daerah/kabupaten/kota pasar tradisional akan berkebang sekehendak hatinya. Pasar menjadi semrawut dan tak terkontrol. Tentunya kesemrawutan ini juga akan menyumbang multiplier effect (dalam konteks negative tentunya) dalam sendi kehidupan yang lainnya. Jalanan menjadi macet akan menyumbangkan naiknya biaya transportasi, pasar yang kumuh akan menyumbangkan maraknya berbagai macam penyakit serta akan ditinggalkan konsumennya. Pada titik yang paling ekstreem pembiaran ini akan membunuh keberadaan pasar tradisional itu sendiri, bukan hal yang mustahil pasar tradisional hanya tinggal sejarah. Yang lebih mengkhawatirkan lagi akan meningkatnya jumlah pengangguran.

Keberadaan pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar modern yang notabene dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia.

Jika dibandingkan lebih lanjut dengan ritel asing (pasar modern) Berdasar data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2010, jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 13.450 pasar dengan jumlah pedagang sekitar 12.625.000 orang. Jika dibanding pasar-pasar modern yang dikuasai ritel asing dengan jumlah tenaga kerja lebih sedikit, sesungguhnya pasar tradisional sangat berpotensi untuk menggerakkan perekonomian daerah serta menyerap tenaga kerja.

Merujuk data ekonomi nasional dalam lima tahun belakangan ini, industri ritel memiliki kontribusi terbesar kedua terhadap GDP setelah industri pengolahan. Bahkan, dalam penyerapan tenaga kerja, industri ritel berada di posisi kedua setelah sektor pertanian. Karena itu, industri ritel dapat dikatakan sebagai industri yang menguasai hajat hidup orang banyak. Alasannya, hampir 10 persen penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dengan berdagang.

Apalagi, menurut data Kemenakertrans 2011, angkatan kerja masih didominasi tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah. Jumlah pekerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah mencapai 54,2 juta orang atau 49,90 persen. Kebanyakan angkatan kerja tersebut hanya mampu ditampung industri ritel selain sektor pertanian, khususnya pasar tradisional. Sayangnya, realita yang berkembang menunjukkan, pasar tradisional seakan “mati suri”, kalah bersaing dengan ritel asing. Akibatnya, berdasar hasil pengamatan di lapangan, banyak pasar tradisional di daerah yang gulung tikar.

Selain itu APPSI melaporkan, omzet pasar tradisional di DKI Jakarta merosot hingga 60 persen setelah kehadiran ritel asing, khususnya hypermarket. Imbasnya, tingkat hunian pasar tradisional tersebut sangat strategis. Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi di Kota Malang yang terkenal sebagai sentral pasar tradisional di Jawa Timur. Dikabarkan, omzet pasar tradisional di sana merosot hingga 30 persen.

Pada 2005, omzet ritel modern tercatat Rp 42 triliun, kemudian meningkat lagi pada 2006 menjadi Rp 50,8 triliun dan pada 2008 meningkat menjadi Rp 58,5 triliun. Yang terbaru, pada 2012, bakal ada 3 ritel asing yang berekspansi ke Indonesia. Yakni, Family Mart dan Lawson. Keduanya merupakan peritel raksasa dari Korea Selatan dan Jepang. Satu lainnya membuka hypermarket atau sekelas grosir, yakni Metro AG yang berpusat di Jerman.

Pada umumnya, di negara-negara Dunia Ketiga terdapat sejumlah faktor yang tidak memungkinkan mereka untuk terlalu mengandalkan mekanisme pasar dalam rangka mengembangkan diri seperti yang dilakukan oleh negara-negara yang tergolong sebagai industri maju selama tahap-tahap awal pembangunannya. Mungkin alasan yang paling penting adalah bahwa pasar-pasar dikebanyakan negara-negara berkembang diliputi ketidaksempurnaan (Arndt dalam Todaro, 2006)

Salah satu ketidaksempurnaan itu adalah kurang informasi dan besarnya ketidakpastian yang dihadapi oleh para produsen dan konsumen. Oleh karena itu, dibanyak negara-negara berkembang, produsen sering kali merasa tidak pasti mengenai ukuran pasar setempat, mengenai keberadaan produsen lainnya, dan mengenai keberadaan input (faktor-faktor produksi), baik yang dari dalam negeri maupun impor.

Sebenarnya, akar permasalahan industri ritel di Indonesia adalah market power ritel asing yang sangat kuat dan tinggi. Karena itu, terjadi ketidakseimbangan dalam bersaing antara ritel asing dan pasar tradisional/ritel kecil. Konsekuensinya, bergaining position (posisi tawar) pasar tradisional sangat rendah di mata konsumen dan publik.

Melihat secara kritis market power yang merupakan “akar masalah”. Seperti yang dibicarakan diatas semakin tersingkirnya pasar tradisional disebabkan oleh beberapa faktor. Yaitu, pertama, masih buruknya infrastruktur kelembagaan pasar tradisional. Pada umumnya, pengembangan kelembagaan pasar tradisional masih dikelola secara tradisional dan bersifat seadanya saja sehingga kurang profesional.

Kedua, masih belum adanya payung hukum berupa peraturan perundangan-undangan yang memberikan sanksi tegas dan keras terhadap pelanggar regulasi industri ritel. Meskipun pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 112 Tahun2007 tentang penataan dan pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan serta Permendag Nomor 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan untuk mengatur regulasi industri ritel nasional, dalam implementasinya, bahwa setiap usaha toko modern harus dapat Izin Usaha Toko Modern (IUTM), bukan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) lagi. 

 Bahkan,  lebih parahnya, masih ada bebeerapa daerah yang tidak mengetahui adanya dua peraturan tersebut dalam industri ritel. Alasan utama ketidakefektifan dua peraturan perundangan dalam pengaturan zonasi maupun pembatasan lainnya, umumnya, disebabkan belum jelasnya sanksi dan penegak hukum bagi pelanggarnya. Dalam peraturan itu, pembukaan atau permintaan izin pembukaan toko ritel modern baru harus memperhatikan beberapa hal. Di antaranya jarak dan lokasi di mana sebelumnya sudah ada pasar tradisonal yang berdiri. Selain itu ritel modern juga harus membuat rencana kemitraan dengan usaha mikro dan kecil di areal lokasi tersebut.

Meski banyak aturan yang kini semakin mempersempit ruang gerak peritel modern, di lapangan tak menyurutkan niat mereka untuk terus berekspansi. Indomaret misalnya, salah satu dari dua penguasa pasar minimarket di Indonesia tersebut kini justru berancang-ancang menambah jumlah outletnya hingga mencapai 600 gerai baru di seluruh Indonesia. Pertumbuhan fenomenal ritel modern, salah satunya diakibatkan gencarnya penetrasi ritel asing ke Indonesia. Data BisInfocus 2008 menyebutkan, jika pada 1970-1990 pemegang merek ritel asing yang masuk ke Indonesia hanya lima, dengan jumlah 275 gerai, tahun 2004 sudah 14 merek ritel asing yang masuk, dengan 500 gerai. Tahun 2008, merek ritel asing yang masuk sudah 18, dengan 532 gerai (http://indocashregister.com, 2011).

Beberapa negara yang sukses melakukan best practices dalam pengelolaan dan pengaturan industri ritel melalui pembuatan UU ritel, antara lain, Jepang yang mengeluarkan pedoman mengenai unfair trade yang berisi code of conduct masing-masing pelaku, baik peritel maupun pemasok, serta Korea yang mempunyai regulasi berupa Korean Monopoly Regulation and Fair Trade Act, khususnya pada article 36 (1) dan (2), yang bertujuan mengidentifikasi kriteria peritel besar yang melakukan praktik perdangangan tidak adil dengan mengambil keuntungan dari bargaining position-nya. Yang kuat terhadap peritel lainnya.

Ketiga, lemahnya political will pemerintah daerah. Hal itu tampak dari rendahnya dukungan serta keberpihakan pemerintah daerah dalam pembangunan fisik pasar tradisional di daerah sangat memprihatinkan, kumuh, sempit, becek, bau tak sedap, serta banyak bangkai tikus, asap pembakaran, sampah dan lain-lain. Pembangunan fisik pasar baru dilakukan oleh pemerintah jika pasar tersebut sudah benar-benar ambruk termakan waktu atau sesudah terjadi kebakaran pasar saja.

Tak salah, menurut keterangan Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo), pada 2010 masih terdapat sekitar 9000 pasar yang bangunannya sudah tua dan lebih dari 20 tahun tida tersentuh renovasi.  Sebanyak 70 persen dari 13.000 bangunan pasar di Indonesia sudah berumur lebih dari 20 tahun. Malahan, ada yang 30 tahun dan tak kunjng ada perbaikan. Selain itu, lemahnya “political will” pemerintah daerah yang begitu longgar dan leluasa dalam memberikan izin berdirinya ritel-ritel baru turut mempercepat menjamnurnya ritel modern di daerah.(dalam Agus Suman, 2011).

Untuk menghindari semakin tersisihnya pasar tradisional dalam era persaingan perdagangan bebas saat ini, pemerintah harus segera melakukan upaya-upaya cerdas dan strategis untuk melindungi pasar tradisional. Setidaknya ada 3 upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah proses kepunahan pasar tradisional akibat gempuran ritel asing (pasar modern).

Pertama, intervensi pemerintah melalui regulasi yang memberikan pembatasan wilayah bagi beroperasinya pasar modern, terutama ritel asing yang merupakan jaringan besar dengan sistem waralaba. Selain itu, perlu diatur jarak/zonasi dalam radius tertentu bagi pendirian dan pengoperasian pasar modern, misalnya, zonasi kawasan, zonasi jarak, dan zonasi rasio penduduk. Regulasi tersebut harus benar-benar ditegaskan secara konsisten dengan pengawasan yang ketat agar bisa dilaksanakan dalam rangka melindungi pedagang pasar tradisional dari persaingan tidak seimang dengan pasar modern.

Kedua, pemerintah harus berupaya untuk menata ulang pasar tradisional, baik untuk memperbaiki penampilan yang lebih baik, maupun untuk menciptakan kenyamanan dalam berbelanja di pasar tradisional. Dalam penataan ulang ini, jangan sampai terjadi adanya penggusuran bagi pedagang yang selama ini sudah menempati pasar tradisional selama bertahun-tahun. Untuk itu, pemerintah harus memberikan bantuan dan jaminan bagi pedagang kecil sehingga masih bisa menempati tempat berjualan mereka setelah pasar tradisional direnovasi.

Ketiga, pemerintah harus berupaya menjabatani bagi pedagang pasar tradisional untuk bisa menjadi pemasok bagi pasar modern. Memang, ada beberapa jaringan pasar modern yang memberikan kesempatan bagi pedagang kecil untuk menjadi mitra usaha pasar modern sebagai pemasok. Namun, dalam prakteknya bukanlah hal yang mudah bagi pedagang kecil untuk bisa memenuhi persyaratan “njlimet” yang ditetapkan jaringan pasar modern untuk dapat menjadi mitra usaha.  Misalnya, yang dilakukan pemerintah Thailand untuk memberdayakan usaha kecil ritel dengan mendirikan perusahaan negara atau BUMN nonprofit Allied Retail Trade Co (ART Co) dengan modal kerja sekitar USD 9,1 juta. Perusahaan tersebut bertugas membeli barang dari pabrikan dan kemudian disalurkan ke jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya.(Agus Suman, 2011).

Terlepas dari berbagai solusi tersebut, Tidak mustahil, keberadaan pasar tradisional akan mengalami kepunahan. hal utama yang paling dibutuhkan adalah komitmen keberpihakan kepada pedagang pasar tradisional yang disertai niat dan langkah serius pemerintah untuk benar benar bisa mempertahankan keberadaan pasar tradisional dari serbuan ritel asing.







Daftar Pustaka
Akadsolo, “Pasar Tradisional vs Pasar Modern.” http://titik.dagdigdug.com/?p=26. 1 April 2009
Kuncoro, Mudrajad. Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) STIMYKPN d/h AMP YKPN, 2006.
Ma`aruf, Hendri. Pemasaran Ritel. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Mesinkasir.“Pertumbuhan Ritel  Modern di Surabaya sudah Meresahkan (Over Capacity).” http://indocashregister.com. 23 Januari 2011.
Pandin, Marina L. “Potret Bisnis Ritel di Indonesia : Pasar Modern.” http://www.bni.co.id/ Portals/0/Document/Ulasan%20Ekonomi/Pasar%20Modern.pdf. Maret 2009
Radhi, Fahmy, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat. Jakarta: Republika, 2008.
Sulaiman, Agus. “Meningkatkan Daya Saing Pasar Tradisional.” http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis /2011/11/15/meningkatkan-daya-saing-pasar-tradisional/. 15 November 2011.
Suman, Agus. Ritel Asing v Pasar Tradisional. Jawa Pos kolom Opini, Jumat 16 Desember 2011.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi, Edisi Kesembilan, Jilid 2.  Jakarta: Erlangga. 2006.






3 ulasan:

  1. Semoga pasar tradisional masih tetap ada om, karena jelas terjamin kemurahanya :ngakak

    ==
    koment + follow balek blog ane ya om :D
    webawang.blogspot.com

    BalasPadam
  2. semoga saja begitu bang,, kalo sampe tergusung makin banyak yg nganggut lagi nanti :(



    okeee gan..

    BalasPadam
  3. Saya berharap pemerintah melindungi pasar tradisional dengan subsidi. Kalo gak bisa ilang pasar tradisional digantiin pasar modern yang sewanya mahal.
    http://alrisblog.wordpress.com/

    BalasPadam