Rabu, 19 April 2017

Sinopsis Film Taking Chance


Oleh: Arif Subiyanto

.
Tadi malam saya menonton film "Taking Chance" yang ditayangkan HBO. Film berdurasi 77 menit itu benar-benar menggetarkan, membuat saya berkaca-kaca dan berpikir sangat lama.

**

Film yang diangkat dari kisah nyata ini menceritakan perjalanan Letkol Marinir Michael Strobl yang secara sukarela menjadi petugas penjemput prajurit AS yang tewas pada perang Irak. Kolonel marinir Amerika itu tergerak untukmenjemput jenasah Pratu (Private First Class) Chance Phelps (19 tahun) yang tewas terkena tembakan sniper di luar kota Bagdad.

Pergilah Letkol Michael Strobl ke fasilitas kamar mati di pangkalan udara militer Dover (Dover Air Force Base). Selanjutnya dia akan menempuh perjalanan panjang mendampingi jasad Pratu Chance Phelps yang diterbangkan ke Philadelphia, transit di Minneapolis dan seterusnya diterbangkan lagi ke bandara terakhir di Billings, Montana. Selajutnya mayat prajurit itu akan menempuh perjalanan darat ke kota kecil Riverton, lalu dimakamkan di kota kelahirannya di Dubois, Wyoming.

Tugas seorang 'volunteer military escort' adalah menjaga, mengawasi proses evakuasai dan transportasi jenasah, dan memastikan jasad tentara yang gugur di medan perang itu diperlakukan dengan takzim, penuh hormat dan martabat sebelum diserahkan kepada keluarganya. Yang membuat saya terharu, semua orang yang menyaksikan dan menangani jenasah Pratu Chance Phelps merasa bangga bisa memberikan pelayanan dan penghormatan terakhirnya bagi prajurit marinir muda itu. Petugas ground crew di bandara selalu memisahkan peti jenasah itu dari barang-barang lainnya, mendahulukannya ketika dimasukkan atau dikeluarkan dari perut pesawat. Setiap kali peti mayat itu dibongkat muat, Letkol Michael Strobl berdiri, memberi hormat dengan sikap sempurna seorang perwira. Semua kru pesawat, bahkan sang pilot, mengistimewakannya. Petugas tiket di bandara dengan spontan memberikan tiket kelas satu untuk letkol Strobl. Sang pilot sendiri yang membawa tas jinjing bagasi kolonel tersebut. Ketika pesawat akan mendarat di bandara berikutnya, pilot membuat pengumuman khusus, meminta para penumpang tetap duduk di kursi, memberi kesempatan kepada sang letnan kolonel untuk turun terlebih dahulu agar bisa berdiri di dekat mesin conveyor dan memberi hormat kepada jasad Chance Phelps.

Setiap kali peti mayat dipindahkan dari pesawat ke gudang cargo, semua petugas di bandara, baik sipil atau militer, berdiri diam memberi isyarat penghormatan. Ketika jenasah Pratu Chance Phelps disimpan di ruang kargo selama menunggu penerbangan ke Montana keesokan harinya, letkol Michael Strobl menolak tidur di hotel dan memilih tidur di lantai gudang cargo, mengawal jenasah pahlawan perang itu. Sebelum jenasah dimakamkan, letnan kolonel itu sempat membuka peti mati untuk memastikan seragam pahlawan itu rapi dan sempurna: gesper ikat pinggang dan kancing bajunya mengkilap tanpa cela.

Dalam perjalanan darat dari bandara Billings menuju ke kota Dubois, semua kendaraan yang menyalip iring-iringan mobil jenasah itu menyalakan lampunya sebagai tanda penghormatan bagi pahlawan perang tersebut. Sesampai di kota Dubois, Wyoming, seluruh warga kota sudah menyiapkan upacara pemakaman terbaik untuk pahlawan mereka. Para veteran militer dari jauh menyempatkan datang ke Dubois, penduduk kota berbaris di tepi jalan raya melambai-lambaikan bendera Amerika, para anggota pramuka berderet rapi di sepanjang jalan menuju makam. Jasad prajurit marinir itu ditarik dengan kereta kuda, dan semalam suntuk para petugas membersihkan kereta kuda itu sampai mengkilap, dan menyikat bulu kuda-kuda penariknya. Simpati dan rasa duka ditunjukkan semua orang sejak mayat si prajurit muda meninggalkan pangkalan militer hingga sampai ke desanya.

Film ini sangat menyentuh saya. Di dalamnya banyak hikmah dan pelajaran tentang cara sebuah bangsa menghormati prajuritnya yang mati setelah mempersembahkan nyawa demi kemakmuran seluruh rakyat dan keamanan tiap jengkal tanah tumpah darahnya. Terlepas dari masalah politik atau alasan Amerika mengirimkan ribuan prajuritnya ke Irak, Vietnam, Afghanistan, atau ke mana saja, cara negara dan bangsa itu memperlakukan prajuritnya yang gugur sungguh megah dan membanggakan luarbiasa: fasilitas dan pelayanan terbaik mereka berikan. Siapa yang tidak tergetar menyaksikan petugas menyerahkan bendera Amerika penutup peti jenasah sang pahlawan kepada keluarganya dengan mengucap: "On behalf of the President of the United States, the Commander of Marine Corps, and a grateful nation, pelase accept this flag as a symbol of our appreciation to your loved one's service to the country and the corps..."

Saya tidak heran kalau mayoritas warga AS punya rasa patriotisme yang tinggi. Pemerintah federal bekerja keras untuk kesejateraan mereka, meskipun cara yang ditempuh acap kali kontroversial. Bagaimana mereka tidak nasionalis? Pemerintah atau politisinya membegal bangsa lain demi menyejahterakan mereka. Tentu lain soal dengan rejim atau parlemen yang merampok rakyat tapi bertekuk lutut pada pengaruh asing di negara antah-berantah... Rakyat tidak perlu dibujuk atau dihipnotis dengan ballyhoo, iklan politik atau janji-janji yang fantastis pada kampanye pemilu. Bukti nyata, rekam jejak para kandidat dan sepak terjang mereka sudah bicara, dan rakyat tidak akan bisa dikelabui oleh mereka.



Sumber: https://www.facebook.com/arif.subiyanto.5

Ahad, 16 April 2017

Menangis Nonton Beauty and the Beast



Oleh: Azrul Ananda

IZINKAN saya jadi sedikit feminin di tulisan ini. Gara-gara benar-benar terharu dan sempat menitikkan air mata menonton Beauty and the Beast…
***

Sudah berbulan-bulan saya menunggu film live action terbaru Disney, Beauty and the Beast, muncul di bioskop. Begitu mengetahui bahwa film kartun tahun 1991 itu bakal dikemas ulang, dengan bintang utama Emma Watson, saya langsung terpikat.

Feeling dari awal sudah kuat. Ini film bakal ’’meledak’’.

Dan ternyata jadi kenyataan. Weekend pertamanya mantap. Memecahkan rekor pembukaan terheboh di bulan Maret. Secara global juga dahsyat. Dibuat dengan biaya USD 160 juta, weekend pertamanya langsung meraup USD 170 juta di Amerika saja plus USD 180 juta di negara-negara lain di dunia.

Jangan kaget kalau pemasukan akhir film ini nanti menembus angka lebih dari USD 1 miliar.

Kok bisa saya suka Beauty and the Beast?

Dari dulu, saya penggemar kartun Disney. Dua favorit utama saya: Beauty and the Beast dan Aladdin.

Yang Beauty and the Beast karena ceritanya entah mengapa begitu pas di hati. Sedangkan yang Aladdin mungkin karena dulu, waktu 1992, saya nonton film itu bersama beberapa teman dekat, termasuk dengan cewek yang waktu itu saya taksir (hehehe).

Beauty and the Beast pas di hati? Karena ketika menonton film itu, rasanya seperti ada yang hangat di dada. Dan pesan moralnya sangat simpel, bukan? Buruk rupa bukan berarti jahat, atau bukan berarti tidak bisa berubah menjadi baik. Sedangkan yang ganteng dan dikagumi belum tentu baik.

Simpel banget.

Dan lagunya. Lagunya itu lho!

Tak heran film ini menjadi film animasi pertama yang masuk nominasi film terbaik Oscar. Dan lagunya itu meraih Oscar.

Begitu film versi baru (live action) ini diputar, saya menonton bersama keluarga dan teman-teman keluarga.

Bagaimana filmnya? Ya Tuhan, saya langsung meleleh…

Emma Watson perfect jadi Belle. Kabarnya, dia bakal dapat bayaran USD 15 juta dari film ini. Cocok!

Di situ juga ada Kevin Kline, aktor yang lumayan saya suka sejak zaman dahulu kala. Dulu dia pernah main romantic comedy bersama Meg Ryan (favorit saya) dalam film French Kiss. Di film baru ini, Kline yang sudah tua (seperti Meg Ryan) menjadi Maurice, ayah Belle.

Dan musiknya! Terima kasih Disney karena tetap menjaga unsur nostalgia, tetap membuat film ini ’’segaris’’ dengan yang lama. Hanya menambah satu dua bagian, menambah satu dua lagu baru, mengutak-atik satu dua bagian, supaya film ini lebih kuat ceritanya dan update dengan dunia sekarang.

Karena alur filmnya relatif tidak berubah, selama menonton saya tak sabar menantikan momen terindah Beauty and the Beast. Yaitu, saat Belle berdandan cantik dengan gaun kuningnya, dan Beast berdandan dengan baju biru, bersiap untuk dansa bersama.

Waaaaaaaaaa…

Ketika lagu Beauty and the Beast dinyanyikan oleh Mrs. Potts (suara Emma Thompson), saya benar-benar meleleh. Tak terasa, air mata menetes dari kedua mata…

Magic!

Film baru ini tetap memiliki kekuatan magis ala film kartun 1991 lalu. Cerita yang baik akan selalu menjadi cerita yang baik. Walau format berubah dari gambar menjadi aktor beneran, kekuatan cerita, lagu, dan lain-lain membentuk kekuatan yang bisa membuat dada terasa hangat.

Begitu film selesai, saya langsung bilang ke keluarga: Kita harus balik nonton lagi film ini!

***

Saya heran, kenapa elemen yang sangat kecil dari film ini, menyangkut karakter LeFou, begitu menghebohkan. Hanya gara-gara sang sutradara, Bill Condon, menyebut bahwa karakter itu adalah seorang gay, dan memiliki ’’gay moment’’ di dalam film tersebut.

Pemerannya sendiri, Josh Gad, adalah seorang komedian kocak, dan bukan gay. Asal tahu saja, Bill Condon secara terbuka mengaku sebagai gay. Dan yang dalam hidup aslinya secara terbuka gay adalah Luke Evans, aktor yang memerankan si ganteng macho jahat Gaston.

Istri saya sempat bertanya, kenapa kok banyak temannya yang heboh gara-gara komentar itu. Walau belum menonton filmnya, saya langsung bilang, aneh orang-orang itu begitu berlebihan.

Kalau tidak mau nonton, ya sudah. Wong mau beli tiket itu kan pilihan, bukan paksaan. Toh, kalau takut pada karakter LeFou, ya sekalian saja matikan itu TV di rumah.

Banyak karakter seperti itu, yang menunjukkan banyak ’’gay moment’’, di berbagai stasiun televisi yang bisa ditonton secara gratis, disaksikan semua orang dengan mudah.

Heran deh sama orang-orang itu, ngomel tentang suatu hal yang belum dilihat, tapi tidak sadar kalau yang serupa sebenarnya sudah ada di depan mata mereka setiap hari selama bertahun-tahun.

Dan setelah melihat Beauty and the Beast, saya jadi agak tergelitik. Ealaaaah! Apanya yang bikin heboooohhhhh… Biasa aja lageeee! Tidak ada apa-apanyaaaaa… Yang di TV banyak yang lebih paraaaaahhh…

Dan yang di TV itu belum tentu punya nilai mendidik seperti cerita Beauty and the Beast!

***

Walau secara keseluruhan bahagia dan meleleh, saya tetap punya satu keberatan dari film ini. Yaitu, ketika lagu istimewa Beauty and the Beast dinyanyikan lagi oleh Ariana Grande dan John Legend.

Jangan salah, Grande dan Legend adalah dua penyanyi dahsyat.

Hanya, dan mungkin saya tidak sendirian, rasanya keduanya tidak memiliki ’’chemistry’’ saat berduet menyanyikan lagu itu.

Beda jauuuh dengan versi Celine Dion dan Peabo Bryson pada versi 1991 lalu.

Lucu juga, ketika nonton versi baru di YouTube, lalu nonton lagi versi lamanya di YouTube, ada komentar di bawah yang ternyata sepemikiran:

’’Siapa yang menonton (versi lama) ini langsung setelah menonton (versi baru)? Bagus yang lama, bukan?’’

Dan komen-komen di bawahnya banyak yang menyatakan kalau ada sesuatu ’’yang kurang’’ dari versi terbaru 2017…

Malah jujur, ada dua versi lagi yang menurut saya lebih bagus dari versi Grande dan Legend. Yaitu, versi Mrs. Potts 1991 yang dinyanyikan Angela Lansbury, dan Mrs. Potts 2017 suara Emma Thompson.

Mungkin ini karena saya sudah menua. Tapi, saya merasa, keajaiban chemistry Celine Dion dan Peabo Bryson, serta nyanyian berkarakter Lansbury dan Thompson, jauh lebih magical daripada angka kombinasi follower medsos Ariana Grande dan John Legend.

Angkanya magical abstract, tidak bisa dihitung lewat Facebook, Twitter, Instagram, atau yang lain! (*)

Sumber:
http://www.jawapos.com/read/2017/03/22/117837/menangis-nonton-beauty-and-the-beast