Khamis, 13 Julai 2017

Martin Aleida - Tanah Air (Cerpen Pilihan Kompas 2016)


Tanah Air ilustrasi Polenk Rediasa

(Kompas, 19 Juni 2016)

Hatiku teduh. Dia kelihatan tenang. Cuma matanya saja yang terus memandangiku dengan ganjil. Seakan aku ini siapa, bukan istrinya. Tadi, sambil duduk berdampingan menjuntaikan kaki di tubir tempat tidur, perlahan kupotongi kuku-kukunya yang panjang, hitam berdaki. Dari tangan sampai kaki. Gemertak pemotong kuku meningkahi angin pagi yang deras dan dingin memukuli jendela.


Tanpa menatapku barang sekejap pun, seperti berbisik pada dedaunan di luar, lagi-lagi dia mengulangi igauan yang saban pagi, menjelang matahari terbit, diucapkannya seperti merapal mantra. Atau pesan yang aku tak tahu kepada siapa. “Setengah jam lagi. Begitu matahari terbit, mereka akan datang membebaskan kita,” desisnya dengan mata yang tetap saja liar, dan sepertinya aku entah di mana, tidak berada di seberang bahunya. Siapa yang akan membebaskannya? Aku tak tahu. Dan aku tak pernah mau bertanya. Tetapi, yang jelas janji akan pembebasan selepas subuh itulah yang kelihatan membuat penderitaannya lebih dalam.



Aku sama sekali tak tahu bagaimana awal kesengsaraan yang kini membelenggunya, membuat dia tidak berada dalam tubuhnya sendiri, sebagaimana dia yang kukenal sejak lebih setengah abad lalu. Dari seorang wartawan olahraga koran sore yang terpandang. Yang katanya sering mengintipku dari gerbang Tjandra Naja, dekat Jakarta Kota, saat aku pulang sekolah naik sepeda. Laki-laki peranakan yang bermata tidak sesipit mataku, tapi hatinya sungguh lapang. Dan aku merasa tersanjung, juga bingung, ketika dalam surat pertama yang dia selipkan ke dalam tasku, memuji betisku setengah mati.

Sekarang, di tempat tidur ini, dari seorang manusia, kini dia tinggal menjalani sisa hidup hanya sebagai seonggok daging tak berjiwa. Hampa. Aku tak tahu apa yang menjadi pencetus penyakitnya ini. Yang membuat matanya terkadang garang. Teramat garang. Memerah. Seperti hendak pecah. Kalau sudah begini, dia menghindar dari tatapanku, bagaimanapun manisnya aku tersenyum, dan melemparkan pandang ke luar jendela. Yang tetap bertahan adalah pernyataan kasih sayangnya sejak dulu: kalau bangkit dia tak pernah lupa membelai lututku, persis di atas betis yang katanya membuat dia kesengsem, dulu.

Dari kawan-kawannya sesama pelarian, yang tak bisa pulang karena paspor mereka dirampas penguasa baru di tanah yang kutinggalkan, kudengar dia merasa sangat bersalah. Mengutuki dirinya sebagai seorang ayah yang keji, karena tidak membesarkan, apalagi menyekolahkan, anak tunggal kami. Tak sekali-dua-kali kawan-kawannya di Tiongkok, sebelum mereka mendamparkan diri ke Amsterdam sini, memergokinya sedang membisikkan nama anaknya berulang kali, dan membentur-benturkan kepalanya ke meja makan. Juga ke tembok. Kawannya sekamar sering mendengar desis sebuah nama dan gedebuk berulang-ulang di dinding batu sementara dia masih berada di toilet.

Menurut cerita kawan-kawannya itu pula, ketika Revolusi Kebudayaan membanjir di seluruh daratan Tiongkok, dia acapkali termenung, tak percaya akan apa yang dia saksikan. Dia dengar di seluruh negeri itu seorang manusia sedang dipuja melebihi dewi Kwan Im. Suatu pagi dia terperanjat. Gemetar melihat puluhan pemuda dan tentara bertopi segi-lima, syal merah, yang sedang konferensi di satu hotel bertingkat, semuanya berdiri di beranda hotel di tingkat ke sekian, menghadap ke timur. Mereka bukannya memuja matahari, melainkan memuliakan sang penyelamat yang sedang duduk entah di mana. Lewat pengeras suara, mereka bersenandung, seperti hendak menggelontorkan matahari:

“di langit tiada dewa

di bumi tiada raja

gunung-gunung menyingkirlah

aku datang ...”

Dia bersama ratusan kawan senasib disingkirkan ke sebuah kota kecil, jauh dari Peking. Alasannya demi keamanan. Supaya tak jadi sasaran mereka yang datang dengan senjata “Buku Merah”. Dia merasa benar-benar dikucilkan, disingkirkan, dari dunia yang wajar. Dilarang keluar dari kompleks perumahan. Dari seorang yang terlatih menulis, dia menjadi pengangkut kotoran manusia untuk pupuk tanaman. Perasaannya tambah tertekan. Apalagi muncul perpecahan di kalangan mereka yang tak bisa pulang ke Tanah Air itu. Ratusan jumlahnya. Mereka bertengkar, seperti hendak berbunuh-bunuhan, karena beda pilihan keyakinan politik, antara Moskow dan Peking.

Beberapa tahun kemudian, aku menerima sepucuk surat. Melihat titimangsanya, surat itu terlambat empat bulan. Melalui perbatasan sejumlah negara Eropa, diposkan di Amsterdam. Hanya secarik kertas. Dia membujukku menjual apa saja untuk ongkos dan bertolak dari Jakarta supaya bisa berjumpa di Macao atau Kanton. Waktu itu, pekerjaan sebagai tukang jahit dan pembuat kue sudah kutinggalkan. Aku sudah memiliki beberapa bajaj dan berangan-angan menjadi pengusaha taksi supaya bisa memilih perguruan yang baik untuk anakku.

Di stasiun kereta api Kanton aku menjumpainya sedang duduk di sebuah bangku panjang. Duduk berpangku tangan. Dari rona matanya, sepertinya dia kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Aku memanggil namanya. “Ini aku…,” sapaku. Dia berdiri, memelukku erat-erat seperti hendak meremukkan tulang rusukku. Orang hilir-mudik tak dia hiraukan.

Malam pertama, dia bercerita tentang rencananya berangkat ke Belgia, yang tak lama lagi akan membuka hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Sehingga visa tinggal di negara itu diperkirakan akan mudah diperoleh. Dari negara itu, katanya, dia akan melompat ke Belanda, di mana beberapa orang temannya senasib sudah siap menampung. Aku hanya meletakkan kupingku dengan baik-baik di bahunya. Mengiyakan apa saja yang dia rencanakan. Malam kedua, ulu hatiku terasa seperti dia tonjok, ketika dia katakan ada kabar yang sampai ke kupingnya, bahwa aku sering pergi dengan lelaki. Lantas dia keluarkan sebuah buntalan kecil dari saku celananya. Dibalut kain putih, di dalamnya segumpal tanah merah yang kering.

“Ciumlah … Ini tanah Indonesia. Apa pun yang akan terjadi dia akan mempertautkan kita,” katanya lamat-lamat seraya memegangi tanganku, merebahkan kepala di bahuku. Semacam permintaan maaf atas tuduhan yang baru saja dia timpakan padaku. Katanya, tanah itu dia bawa ketika meninggalkan Jakarta menuju Kairo dan kandas di Peking.

Tak sampai lima tahun setelah pertemuan di Kanton itu. Begitulah, kalau tak salah ingatanku. Bajajku sudah selusin dan taksiku lima. Dengan bantuan pengarahan dari gereja, aku bisa menyekolahkan anakku di Australia. Dia studi teknologi informasi, keinginannya satu-satunya.

Setelah beberapa lama bermukim di Belanda, suamiku berkirim surat. Layaknya pecandu sepakbola yang ingin lawannya kalah habis-habisan, dia berteriak melalui baris-baris suratnya: “Juallah semuanya, jangan tinggalkan sepeser pun di negeri yang dikuasai fasis itu. Terbanglah kemari! Tanahmu. Tanahku, walau segenggam, menunggu di sini .!”

Tak terlalu sulit untuk memenuhi keinginannya. Ada orang-orang gereja yang siap membantu mencarikan pembeli. Juga sanak-saudara, sekalipun mereka harus mendekatiku dengan hati-hati. Cecunguk di mana-mana. Tiba-tiba, datang lagi surat dari dia. Singkat. Memerintah: jangan berangkat dulu! Keadaan tidak aman. Maksudnya apa, aku tak tahu. Tunggu kabar selanjutnya, katanya. Padahal rumah sudah terjual. Terpaksa aku mengontrak rumah selama setahun. Kabar susulan dari dia belum juga muncul selama setahun.

Aku berniat baik, ingin berbuat kebajikan kepada suami yang kucintai. Orang yang sayangnya pada anakku membuat dia dikungkung ketegangan karena merasa bersalah tidak ikut membesarkannya. Tetangga, sanak-famili boleh acuh-tak-acuh, karena takut, namun gereja membukakan pintu untukku. Walau hanya bubungan gereja kecil. Di situlah aku tinggal sambil menunggu aba-aba keberangkatan yang akan datang dari daratan impian.

Derita tak usah berpanjang-panjang. Sementara keteguhan tak boleh padam. Singkat cerita, aku mendarat di Schiphol. Dia menyambutku di pintu ke luar. Dada sesak oleh kebahagiaan. Aku dirangkulnya berlama-lama. Lantas mendorong barang bawaanku menuju kereta api.

Rumahnya agak di tepi Amsterdam. Masyarakatnya terdiri dari berbagai ras. Orang Suriname yang paling banyak. Ruang tamunya cukup lega, dua kamar tidur, lengkap dengan dapur dan kamar mandi yang memadai. Terletak di lantai delapan. Dari kawan-kawan terdekatnya, terutama peranakan, kuperoleh keterangan bahwa kesengsaraan, berupa stres yang dia tanggungkan, bertambah buruk. Apa pun aku akan dan harus menemaninya. Sebagaimana aku harus membesarkan anakku, maka aku juga harus mendampinginya walau ajal menanti.

Dia sering merenung. Matanya acapkali menerawang kosong ke luar jendela. Jarang sekali dia memulai percakapan. Hatiku melambung bahagia ketika anakku liburan dan mengunjungi kami. Ketika dia masih duduk di sekolah dasar, dengan susah-payah aku melerai kemarahannya terhadap ayah yang dia tuduh tidak bertanggung jawab, meninggalkannya. Menyia-nyiakan ibunya. Bersenang-senang di luar negeri sana.

Di meja makan. Menjelang tidur. Terkadang saat sedang belajar, kalau momennya kena, kukatakan bahwa ayahnya tidak bersalah. Tak bisa pulang membesarkan dan menyekolahkannya bukan pilihannya. Susah-payah aku menjelaskan kepadanya, bahwa ada kekuasaan yang begitu buruk rupanya, sehingga sampai hati memisahkan seorang anak tunggal dari ayahnya.

Han, sekarang sudah terbebas dari siksa di masa kecilnya. Selain penjelasan berulang-ulang yang kusampaikan, dia juga menjadi matang dengan jalan yang dia temukan sendiri. Terutama oleh dunia yang bisa dia arungi lewat Google. Bagaimanapun kekuasaan mencoba berbohong dan menutupi kejahatannya terbongkar juga di dunia maya.

Han membuat dadaku mongkok. Setelah dewasa, dia berubah dalam bersikap terhadap papinya. Suamiku yang tetap tumpul. Terkungkung dalam jiwa yang remuk. Setelah putra tunggal kami itu kembali ke Australia, ketegangan yang dialami suamiku bukannya mengendur. Bercakap-cakap di taman, di meja makan, di tempat tidur, dia tak habis-habisnya mengutuk dirinya sendiri. Karena ucapan anaknya yang masih kecil, bahwa dia bukan seorang ayah yang bertanggung jawab.

“Sudahlah . Dengarlah baik-baik. Tuduhan anakmu itu ‘kan kau dengar dari kawan-kawamu di Tiongkok ‘kan? Sama seperti kau juga dengar bahwa aku menjual diri kepada lelaki lain. Aku tak mempedulikan omong-kosong orang. Kalau kumasukkan ke dalam hati, aku bisa gila. Dengarlah baik-baik. Selama Han bersama kita di sini, dia memanggilmu Papi. Papi…! Kau ingat ‘kan? Tidakkah kau bisa menafsirkan sebutannya padamu itu sebagai tanda permintaan maaf. Bahwa kau adalah ayahnya yang baik. Bahwa kau tak pulang-pulang bukan lantaran kehendakmu.”

Tapi, dia cuma membatu. Tak bergetar. Apa yang berkecamuk di dalam hatinya, aku tak tahu. Matanya tetap nanar menatapku.

***

Hatiku terasa teduh. Dan dia kelihatan lebih tenang. Cuma matanya yang terus memandangiku dengan ganjil. Seakan-akan aku bukan istrinya. Sebentar-sebentar dia melongok ke jendela.

“Sudah potong kuku. Sudah mandi. Sudah sarapan. Kita tinggal tunggu. Nanti dokter akan datang,” bujukku. Saya pamit mau membuang sampah, menyiram tanaman di beranda, mencuci piring, dan merapikan ruang tamu.

Di beranda aku merawat taman kami yang mungil, sekitar setengah kali dua meter. Di situ kutanam rose, juga dua pohon pisang, agar Indonesia tidak terlalu jauh dari kami.

Telepon berdering. “Saya psikiater yang akan mengunjungi suami Nyonya. Apakah dia baik-baik saja?” kata yang menelepon.

“Dia baik. Baik, Dokter,” sahutku.

“Tunggu ya.”

Aku membersihkan kamar mandi. Menggosok toilet. Ketika menjinjing vacuum cleaner ke kamar tidur, aku disentak gordin yang berkibar sejadi-jadinya disapu angin. Jendela ternganga. Tempat tidur melompong. Aku berteriak memanggilinya. Tak ada jawaban. Aku lari ke kamar mandi. Dia tak ada di situ. Toilet kosong. Secepat petir pikiranku terbang. Suara orang yang menelepon, yang mengaku psikiater, tadi kayaknya mirip suaranya. Kudorongkan kepalaku keluar jendela. Memanggil-manggil namanya ke samping, ke bawah. “Di mana kau… Di mana…?!”

Kukunci seluruh ruangan. Cepat aku melangkah ke lift. Kupencet angka nol di panel. Begitu keluar dari lift, kudengar jeritan ambulans yang merapat di ujung apartemen. Beberapa orang terlihat mengerubung di sekitar jasad yang ditutup selimut. Aku tak tahu sekuat apa aku menjerit. Sebesar apa mulutku terkuak menyerukan namanya: “Ang …! Aaaang …!” Aku terjerembab di sampingnya. Jari-jemarinya masih mengepal tanah merah berbalut kain putih. Di dekatnya ada secarik kertas yang berkata: Tanah Air Indonesia. Kalau terjadi apa-apa tolong hubungi istriku, An Sui. Ini nomor teleponnya. (*)



Cerpen ini terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 2016 – Tanah Air

Martin Aleida, Lahir 1943 di Tanjung Balai, Sumatera Utara, menghabiskan lebih dari lima puluh tahun usianya di Jakarta, sebagai mahasiswa, wartawan, penulis lepas. Awal 2016, selama tiga bulan, dengan dukungan sejumlah tokoh, mengadakan riset tentang kehidupan eksil Indonesia di lima negara Eropa.

Rabu, 19 April 2017

Sinopsis Film Taking Chance


Oleh: Arif Subiyanto

.
Tadi malam saya menonton film "Taking Chance" yang ditayangkan HBO. Film berdurasi 77 menit itu benar-benar menggetarkan, membuat saya berkaca-kaca dan berpikir sangat lama.

**

Film yang diangkat dari kisah nyata ini menceritakan perjalanan Letkol Marinir Michael Strobl yang secara sukarela menjadi petugas penjemput prajurit AS yang tewas pada perang Irak. Kolonel marinir Amerika itu tergerak untukmenjemput jenasah Pratu (Private First Class) Chance Phelps (19 tahun) yang tewas terkena tembakan sniper di luar kota Bagdad.

Pergilah Letkol Michael Strobl ke fasilitas kamar mati di pangkalan udara militer Dover (Dover Air Force Base). Selanjutnya dia akan menempuh perjalanan panjang mendampingi jasad Pratu Chance Phelps yang diterbangkan ke Philadelphia, transit di Minneapolis dan seterusnya diterbangkan lagi ke bandara terakhir di Billings, Montana. Selajutnya mayat prajurit itu akan menempuh perjalanan darat ke kota kecil Riverton, lalu dimakamkan di kota kelahirannya di Dubois, Wyoming.

Tugas seorang 'volunteer military escort' adalah menjaga, mengawasi proses evakuasai dan transportasi jenasah, dan memastikan jasad tentara yang gugur di medan perang itu diperlakukan dengan takzim, penuh hormat dan martabat sebelum diserahkan kepada keluarganya. Yang membuat saya terharu, semua orang yang menyaksikan dan menangani jenasah Pratu Chance Phelps merasa bangga bisa memberikan pelayanan dan penghormatan terakhirnya bagi prajurit marinir muda itu. Petugas ground crew di bandara selalu memisahkan peti jenasah itu dari barang-barang lainnya, mendahulukannya ketika dimasukkan atau dikeluarkan dari perut pesawat. Setiap kali peti mayat itu dibongkat muat, Letkol Michael Strobl berdiri, memberi hormat dengan sikap sempurna seorang perwira. Semua kru pesawat, bahkan sang pilot, mengistimewakannya. Petugas tiket di bandara dengan spontan memberikan tiket kelas satu untuk letkol Strobl. Sang pilot sendiri yang membawa tas jinjing bagasi kolonel tersebut. Ketika pesawat akan mendarat di bandara berikutnya, pilot membuat pengumuman khusus, meminta para penumpang tetap duduk di kursi, memberi kesempatan kepada sang letnan kolonel untuk turun terlebih dahulu agar bisa berdiri di dekat mesin conveyor dan memberi hormat kepada jasad Chance Phelps.

Setiap kali peti mayat dipindahkan dari pesawat ke gudang cargo, semua petugas di bandara, baik sipil atau militer, berdiri diam memberi isyarat penghormatan. Ketika jenasah Pratu Chance Phelps disimpan di ruang kargo selama menunggu penerbangan ke Montana keesokan harinya, letkol Michael Strobl menolak tidur di hotel dan memilih tidur di lantai gudang cargo, mengawal jenasah pahlawan perang itu. Sebelum jenasah dimakamkan, letnan kolonel itu sempat membuka peti mati untuk memastikan seragam pahlawan itu rapi dan sempurna: gesper ikat pinggang dan kancing bajunya mengkilap tanpa cela.

Dalam perjalanan darat dari bandara Billings menuju ke kota Dubois, semua kendaraan yang menyalip iring-iringan mobil jenasah itu menyalakan lampunya sebagai tanda penghormatan bagi pahlawan perang tersebut. Sesampai di kota Dubois, Wyoming, seluruh warga kota sudah menyiapkan upacara pemakaman terbaik untuk pahlawan mereka. Para veteran militer dari jauh menyempatkan datang ke Dubois, penduduk kota berbaris di tepi jalan raya melambai-lambaikan bendera Amerika, para anggota pramuka berderet rapi di sepanjang jalan menuju makam. Jasad prajurit marinir itu ditarik dengan kereta kuda, dan semalam suntuk para petugas membersihkan kereta kuda itu sampai mengkilap, dan menyikat bulu kuda-kuda penariknya. Simpati dan rasa duka ditunjukkan semua orang sejak mayat si prajurit muda meninggalkan pangkalan militer hingga sampai ke desanya.

Film ini sangat menyentuh saya. Di dalamnya banyak hikmah dan pelajaran tentang cara sebuah bangsa menghormati prajuritnya yang mati setelah mempersembahkan nyawa demi kemakmuran seluruh rakyat dan keamanan tiap jengkal tanah tumpah darahnya. Terlepas dari masalah politik atau alasan Amerika mengirimkan ribuan prajuritnya ke Irak, Vietnam, Afghanistan, atau ke mana saja, cara negara dan bangsa itu memperlakukan prajuritnya yang gugur sungguh megah dan membanggakan luarbiasa: fasilitas dan pelayanan terbaik mereka berikan. Siapa yang tidak tergetar menyaksikan petugas menyerahkan bendera Amerika penutup peti jenasah sang pahlawan kepada keluarganya dengan mengucap: "On behalf of the President of the United States, the Commander of Marine Corps, and a grateful nation, pelase accept this flag as a symbol of our appreciation to your loved one's service to the country and the corps..."

Saya tidak heran kalau mayoritas warga AS punya rasa patriotisme yang tinggi. Pemerintah federal bekerja keras untuk kesejateraan mereka, meskipun cara yang ditempuh acap kali kontroversial. Bagaimana mereka tidak nasionalis? Pemerintah atau politisinya membegal bangsa lain demi menyejahterakan mereka. Tentu lain soal dengan rejim atau parlemen yang merampok rakyat tapi bertekuk lutut pada pengaruh asing di negara antah-berantah... Rakyat tidak perlu dibujuk atau dihipnotis dengan ballyhoo, iklan politik atau janji-janji yang fantastis pada kampanye pemilu. Bukti nyata, rekam jejak para kandidat dan sepak terjang mereka sudah bicara, dan rakyat tidak akan bisa dikelabui oleh mereka.



Sumber: https://www.facebook.com/arif.subiyanto.5

Ahad, 16 April 2017

Menangis Nonton Beauty and the Beast



Oleh: Azrul Ananda

IZINKAN saya jadi sedikit feminin di tulisan ini. Gara-gara benar-benar terharu dan sempat menitikkan air mata menonton Beauty and the Beast…
***

Sudah berbulan-bulan saya menunggu film live action terbaru Disney, Beauty and the Beast, muncul di bioskop. Begitu mengetahui bahwa film kartun tahun 1991 itu bakal dikemas ulang, dengan bintang utama Emma Watson, saya langsung terpikat.

Feeling dari awal sudah kuat. Ini film bakal ’’meledak’’.

Dan ternyata jadi kenyataan. Weekend pertamanya mantap. Memecahkan rekor pembukaan terheboh di bulan Maret. Secara global juga dahsyat. Dibuat dengan biaya USD 160 juta, weekend pertamanya langsung meraup USD 170 juta di Amerika saja plus USD 180 juta di negara-negara lain di dunia.

Jangan kaget kalau pemasukan akhir film ini nanti menembus angka lebih dari USD 1 miliar.

Kok bisa saya suka Beauty and the Beast?

Dari dulu, saya penggemar kartun Disney. Dua favorit utama saya: Beauty and the Beast dan Aladdin.

Yang Beauty and the Beast karena ceritanya entah mengapa begitu pas di hati. Sedangkan yang Aladdin mungkin karena dulu, waktu 1992, saya nonton film itu bersama beberapa teman dekat, termasuk dengan cewek yang waktu itu saya taksir (hehehe).

Beauty and the Beast pas di hati? Karena ketika menonton film itu, rasanya seperti ada yang hangat di dada. Dan pesan moralnya sangat simpel, bukan? Buruk rupa bukan berarti jahat, atau bukan berarti tidak bisa berubah menjadi baik. Sedangkan yang ganteng dan dikagumi belum tentu baik.

Simpel banget.

Dan lagunya. Lagunya itu lho!

Tak heran film ini menjadi film animasi pertama yang masuk nominasi film terbaik Oscar. Dan lagunya itu meraih Oscar.

Begitu film versi baru (live action) ini diputar, saya menonton bersama keluarga dan teman-teman keluarga.

Bagaimana filmnya? Ya Tuhan, saya langsung meleleh…

Emma Watson perfect jadi Belle. Kabarnya, dia bakal dapat bayaran USD 15 juta dari film ini. Cocok!

Di situ juga ada Kevin Kline, aktor yang lumayan saya suka sejak zaman dahulu kala. Dulu dia pernah main romantic comedy bersama Meg Ryan (favorit saya) dalam film French Kiss. Di film baru ini, Kline yang sudah tua (seperti Meg Ryan) menjadi Maurice, ayah Belle.

Dan musiknya! Terima kasih Disney karena tetap menjaga unsur nostalgia, tetap membuat film ini ’’segaris’’ dengan yang lama. Hanya menambah satu dua bagian, menambah satu dua lagu baru, mengutak-atik satu dua bagian, supaya film ini lebih kuat ceritanya dan update dengan dunia sekarang.

Karena alur filmnya relatif tidak berubah, selama menonton saya tak sabar menantikan momen terindah Beauty and the Beast. Yaitu, saat Belle berdandan cantik dengan gaun kuningnya, dan Beast berdandan dengan baju biru, bersiap untuk dansa bersama.

Waaaaaaaaaa…

Ketika lagu Beauty and the Beast dinyanyikan oleh Mrs. Potts (suara Emma Thompson), saya benar-benar meleleh. Tak terasa, air mata menetes dari kedua mata…

Magic!

Film baru ini tetap memiliki kekuatan magis ala film kartun 1991 lalu. Cerita yang baik akan selalu menjadi cerita yang baik. Walau format berubah dari gambar menjadi aktor beneran, kekuatan cerita, lagu, dan lain-lain membentuk kekuatan yang bisa membuat dada terasa hangat.

Begitu film selesai, saya langsung bilang ke keluarga: Kita harus balik nonton lagi film ini!

***

Saya heran, kenapa elemen yang sangat kecil dari film ini, menyangkut karakter LeFou, begitu menghebohkan. Hanya gara-gara sang sutradara, Bill Condon, menyebut bahwa karakter itu adalah seorang gay, dan memiliki ’’gay moment’’ di dalam film tersebut.

Pemerannya sendiri, Josh Gad, adalah seorang komedian kocak, dan bukan gay. Asal tahu saja, Bill Condon secara terbuka mengaku sebagai gay. Dan yang dalam hidup aslinya secara terbuka gay adalah Luke Evans, aktor yang memerankan si ganteng macho jahat Gaston.

Istri saya sempat bertanya, kenapa kok banyak temannya yang heboh gara-gara komentar itu. Walau belum menonton filmnya, saya langsung bilang, aneh orang-orang itu begitu berlebihan.

Kalau tidak mau nonton, ya sudah. Wong mau beli tiket itu kan pilihan, bukan paksaan. Toh, kalau takut pada karakter LeFou, ya sekalian saja matikan itu TV di rumah.

Banyak karakter seperti itu, yang menunjukkan banyak ’’gay moment’’, di berbagai stasiun televisi yang bisa ditonton secara gratis, disaksikan semua orang dengan mudah.

Heran deh sama orang-orang itu, ngomel tentang suatu hal yang belum dilihat, tapi tidak sadar kalau yang serupa sebenarnya sudah ada di depan mata mereka setiap hari selama bertahun-tahun.

Dan setelah melihat Beauty and the Beast, saya jadi agak tergelitik. Ealaaaah! Apanya yang bikin heboooohhhhh… Biasa aja lageeee! Tidak ada apa-apanyaaaaa… Yang di TV banyak yang lebih paraaaaahhh…

Dan yang di TV itu belum tentu punya nilai mendidik seperti cerita Beauty and the Beast!

***

Walau secara keseluruhan bahagia dan meleleh, saya tetap punya satu keberatan dari film ini. Yaitu, ketika lagu istimewa Beauty and the Beast dinyanyikan lagi oleh Ariana Grande dan John Legend.

Jangan salah, Grande dan Legend adalah dua penyanyi dahsyat.

Hanya, dan mungkin saya tidak sendirian, rasanya keduanya tidak memiliki ’’chemistry’’ saat berduet menyanyikan lagu itu.

Beda jauuuh dengan versi Celine Dion dan Peabo Bryson pada versi 1991 lalu.

Lucu juga, ketika nonton versi baru di YouTube, lalu nonton lagi versi lamanya di YouTube, ada komentar di bawah yang ternyata sepemikiran:

’’Siapa yang menonton (versi lama) ini langsung setelah menonton (versi baru)? Bagus yang lama, bukan?’’

Dan komen-komen di bawahnya banyak yang menyatakan kalau ada sesuatu ’’yang kurang’’ dari versi terbaru 2017…

Malah jujur, ada dua versi lagi yang menurut saya lebih bagus dari versi Grande dan Legend. Yaitu, versi Mrs. Potts 1991 yang dinyanyikan Angela Lansbury, dan Mrs. Potts 2017 suara Emma Thompson.

Mungkin ini karena saya sudah menua. Tapi, saya merasa, keajaiban chemistry Celine Dion dan Peabo Bryson, serta nyanyian berkarakter Lansbury dan Thompson, jauh lebih magical daripada angka kombinasi follower medsos Ariana Grande dan John Legend.

Angkanya magical abstract, tidak bisa dihitung lewat Facebook, Twitter, Instagram, atau yang lain! (*)

Sumber:
http://www.jawapos.com/read/2017/03/22/117837/menangis-nonton-beauty-and-the-beast

Rabu, 4 Januari 2017

Memulai 2017 Bersama Princess Leia



‘He was just so handsome’ … Fisher with Harrison Ford in Star Wars. Photograph: Allstar Picture Library
‘He was just so handsome’ … Fisher with Harrison Ford in Star Wars. Photograph: Allstar Picture Library

APA yang Anda selesaikan pertama pada awal 2017 ini? Kalau saya: Tertawa dan merenung bersama Princess Leia Organa (lewat bukunya).

---

Terus terang, saya tidur waktu jam menunjukkan waktu tepat tengah malam, menandai berakhirnya 2016 dan dimulainya 2017 Sempat bangun sebentar-sebentar, karena bunyi petasan begitu meriah di dekat rumah, tapi kemudian langsung tidur lagi. 

Pagi itu, alarm saya siapkan pukul 03.30. Niatnya bangun, lalu pukul 04.00 mau sepedaan sebentar, muter ringan 50 km selama 1,5 jam. Lalu mandi dan berangkat ke airport untuk -akhirnya- liburan bersama keluarga.

Lagi pula, itu memang kebiasaan saya kalau hendak terbang dan harus menuju airport sebelum pukul 07.00.

Bangun, iya. Sepedaan, batal. Mungkin gara-gara tidurnya kurang enak, beberapa kali terbangun mendengar petasan. Ya sudah, lanjut ke program selanjutnya.

Pergantian tahun ini agak beda dengan beberapa sebelumnya. Tidak lagi liburan bersama seluruh keluarga besar. Karena berbagai urusan, tidak semua bisa pergi. Karena berbagai urusan, juga tidak bisa pergi sebelum tahun baru. Keluarga adik saya ke satu negara, sedangkan keluarga saya memilih ke negara yang toiletnya dikenal paling hangat dan bersih sedunia.

Khusus untuk perjalanan yang tidak terlalu jauh, saya sudah menyiapkan bekal khusus. Ya, beberapa majalah sudah saya beli, secara fisik maupun digital. Ada majalah sepeda, film, mobil, dan Mainbasket.

Fungsinya untuk bacaan appetizer selama di pesawat, plus saat naik kereta peluru antar-kota.

Main course-nya: The Princess Diarist. Buku tulisan Carrie Fisher, bintang pemeran Princess Leia Organa dalam serial Star Wars, yang baru meninggal pada 27 Desember lalu karena serangan jantung.

Buku 272 halaman itu menjadi ''sesuatu'' pertama yang saya tuntaskan pada awal 2017 ini. Resmi tuntas setelah mulai serius dibaca di pesawat pada 1 Januari, berlanjut di perjalanan kereta pada tengah hari, 2 Januari.

Dan ini bukan buku sepele. Membaca bab-bab awalnya seperti menatap cermin, membaca kolom-kolom Happy Wednesday sendiri. Agak ngalor-ngidul, ke sana kemari, mengenang, merasakan, menyentuh, menukik, meninju, menghantam, dan yang terpenting: Menggelitik menghibur.

Bagian tengahnya memang sempat terjun ke alam kelam, masuk ke bagian terdalam. Tapi lantas kembali terbang ke atas. Di bagian akhir kembali ke sana kemari, menyentuh, menukik, meninju, menghantam, dan menggelitik menghibur.

---

Princess Leia mungkin merupakan sosok fantasi banyak cowok generasi saya. Atau generasi sedikit sebelum saya, atau sedikit sesudah saya.

Ketika Star Wars (kini berjudul Episode IV: A New Hope) pertama keluar pada 1977, sosok ini langsung jadi ikon pop culture. Cantiknya imut, dengan model rambut ''earphone''.

Princess Leia semakin membuat banyak cowok gemetaran pada Episode VI: Return of the Jedi (1983). Saat dia mengenakan gold metal bikini, beraksi mencekik dan membunuh makhluk gendut Jabba The Hut.

Carrie Fisher adalah Princess Leia. Peran yang selalu melekat padanya ke mana pun dia pergi, walaupun ada puluhan film lain yang telah dia bintangi.

Dan karena Star Wars itu begitu berpengaruh dan mengglobal, mau tak mau, suka tak suka, Carrie Fisher akan selalu menjadi Leia.

''Star Wars adalah pekerjaan saya dari dulu sampai sekarang. Star Wars tidak bisa memecat saya, dan saya tak akan pernah bisa mengundurkan diri,'' tulisnya di buku tersebut.

Siapa Fisher dan siapa Leia, katanya, mungkin sudah tidak jelas. ''Ambil saja tengah-tengahnya. Tidak jauh dari situ,'' tandasnya.

Mengenai image seksi Leia di mata penggemar laki-laki, setelah puluhan tahun Fisher mengaku sudah sangat terbiasa. Dia bahkan menyindir lucu, bahwa sudah bukan rahasia kalau image-nya dengan gold metal bikini itu merupakan sumber inspirasi masturbasi satu generasi!

Wkwkwkwkwk...

Buku The Princess Diarist ini ditulis Leia, eh Fis­her, saat berusia 60 tahun. Diterbitkan hanya lima pekan sebelum dia meninggal pada akhir 2016 lalu.

Itu membuat saya agak merinding karena buku ini seperti pengakuan terakhirnya sebelum dia meninggal. Bahkan, pengakuan ''dosa'' terbesarnya merupakan inti utama buku ini.

Pengakuan bahwa pada 1976, saat tiga bulan syuting Star Wars pertama di Inggris, dia terlibat affairbersama bintang utama lain, Harrison Ford.

Waktu itu dia masih berusia 19 tahun, mengaku sedang ''mekar-mekarnya'' sebagai perempuan. Sedangkan Ford sudah 33 tahun, dan waktu itu sudah menikah dan punya dua anak.

Dalam Star Wars, Harrison Ford memerankan Han Solo, seorang penyelundup yang kemudian jadi jagoan, dan menjadi kekasih dan suami Princess Leia.

Tidak ada satu pun yang tahu, selama 40 tahun ini, kalau ternyata Leia dan Solo, maaf Fisher dan Ford, ternyata memang menjalin hubungan khusus.

Secara detail, hubungan ini dituliskan di bagian tengah The Princess Diarist. Bagaimana kali pertama mereka berhubungan (melibatkan alkohol). Bagaimana mereka benar-benar bersama saat weekend, lalu saat Senin sampai Jumat bertingkat seperti rekan kerja profesional menuntaskan film besutan George Lucas tersebut.

Lewat deskripsi. Lewat puisi. Lewat catatan-catatan pendek. Fisher mencoba menggambarkan betapa rumitnya hubungan ini. Bukan cinta. Tidak ada masa depan. Tapi benar-benar seperti dua jiwa yang harus dan butuh bersama. Benar-benar complicated.

Empat puluh tahun lamanya Fisher menyimpan ini. Dan dia mengaku menghubungi dulu Harrison Ford sebelum membeberkannya dalam buku ini. Dengan pertimbangan, setelah 40 tahun, tidak akan ada lagi yang disakiti.

Buku pun terbit.

Pengakuan dosa disampaikan.

''Affair saya dengan Harrison adalah sebuah one-night stand yang berlangsung sangat panjang. Saya lega saat itu berakhir. Dan saya sangat tidak menyetujui diri saya sendiri,'' tulis Fisher.

Lalu, Carrie Fisher terkena serangan jantung dalam penerbangan dari London menuju Los Angeles. Lantas meninggal pada 27 Desember 2016 lalu...

---

Tidak banyak orang yang sadar, termasuk saya sebagai penggemar berat Star Wars, bahwa Fisher adalah seorang penulis berbakat.

Ini merupakan bukunya yang ketujuh. Buku-buku sebelumnya cukup laris, bahkan ada yang difilmkan. Semua berdasar pengalaman pribadi, karena Fisher memang punya hidup yang unik. Punya banyak bahan tulisan yang luar biasa.

Ayah ibunya adalah Eddie Fisher dan Debbie Reynolds, penyanyi dan aktris kondang. Saat Carrie Fisher masih balita, ayahnya meninggalkan sang ibu untuk bersama aktris kondang lain Elizabeth Taylor.

Fisher juga punya gangguan jiwa, dia terdiagnosis mengidap bipolar disorder. Mood-nya bisa bergeser begitu cepat, dari hepi ke sedih. Narkoba sempat menjadi bagian besar dalam hidupnya.

Dia pernah menikah dengan penyanyi kondang Paul Simon. Setelah bercerai, menjalin hubungan dengan agen kondang Hollywood, Bryan Lourd. Mereka punya anak, kini aktris Billie Lourd.

Hebohnya, Bryan Lourd lantas meninggalkan Carrie Fisher untuk menjalin hubungan -dan kemudian menikah- dengan seorang laki-laki.

Hidup yang luar biasa bukan?

Fisher tidak pernah lulus SMA. Dia drop out di kelas 11 untuk terjun di dunia entertainment. Tapi, dia mengaku sangat suka membaca (bahkan gila membaca), dan sangat suka menulis sejak masih kecil.

Menurut Fisher dalam buku terakhirnya ini, menulis seperti membantu meluapkan segala hal yang mengganggu di dalam kepalanya. Mungkin tidak membantu menyelesaikan masalah, tapi minimal membantu mengurangi beban di kepala.

Nah, saat syuting Star Wars pada 1976 itu, dia banyak menulis catatan, menyusun diary. Baru-baru ini, saat berbenah di rumah, dia menemukan banyak catatan tersebut. The Princess Diarist pada dasarnya adalah pengembangan dari coretan-coretan itu.

Membaca bagian tengah buku ini, yang berisi coretan-coretan itu, rasanya seperti membaca tulisan remaja perempuan yang sedang galau. Anda punya anak perempuan yang remaja? Kalau dia menulis diary, isinya mungkin seperti bagian tengah buku ini! 

Bisa bagus, bisa gawat. 

Hehehe...

---

Sempat masuk dalam ke gua yang begitu gelap di dalam kepala Fisher, bagian akhir buku kembali mengajak kita ke dunia yang lebih terang.

Senang rasanya membaca dan membayangkan betapa ''serunya'' interaksi Fisher dengan para penggemar Star Wars di berbagai penjuru dunia. Bagaimana dia berpikir menyaksikan begitu banyak orang antre untuk mendapatkan tanda tangannya, atau berfoto dengannya.

Bagian paling aneh? Melihat cewek berdandan memakai gold metal bikini ala Leia. Bahkan melihat COWOK berdandan memakai gold metal bikini ala Leia.

Bagian paling menyenangkan? Melihat begitu banyak anak kecil perempuan berdandan putih ala Leia. Tapi, ketika hendak berfoto, ada anak kecil yang justru menangis tidak senang. Karena dia tidak mau berfoto dengan Leia yang sudah tua dan gemuk (ini tulis Fisher sendiri). Maunya dengan Leia yang masih muda dulu.

Bagaimana menjelaskan kepada anak kecil kalau film Star Wars yang dia tonton (atau dipaksakan untuk ditonton oleh orang tuanya) sebenarnya disyuting 40 tahun lalu?

Wkwkwkwkwk...

Asli, rasanya seperti membaca lagi tulisan-tulisan Happy Wednesday sendiri (yang lucu-lucu, bukan yang jelek-jelek). Karena kolom ini kebanyakan basisnya memang dari pengalaman hidup sehari-hari.

Hanya, setelah tuntas membaca The Princess Diarist, saya jadi berpikir, kapan ya waktu paling baik menceritakan kisah paling dalam dan rahasia dalam hidup saya?

Misalnya waktu remaja, belajar berpacaran, belajar gonta-ganti pacar (huh?), dan lain sebagainya?

Princess Leia alias Carrie Fisher menunggu sampai dia berusia 60 tahun untuk bercerita. Tahun 2017 ini saya akan mencapai angka 40.

Hmmm... Semoga saya betah terus menulis Happy Wednesday. Semoga Anda tidak pernah bosan membaca Happy Wednesday. Karena mungkin kita harus menunggu 20 tahun lagi untuk edisi spesial tersebut!

Wkwkwkwkwk... 

Happy New Year
! (*)


Azrul Ananda
http://www.jawapos.com/read/2017/01/04/74951/memulai-2017-bersama-princess-leia-