Isnin, 3 Oktober 2016

Analisis Ekonomi: Simalakama Bisnis Properti

ANALISIS EKONOMI:
Simalakama Investasi Properti

Oleh: ENNY SRI HARTATI*)

Di tengah pelambatan ekonomi, sudah sewajarnya pemerintah menempuh berbagai upaya untuk menggerakkan sumber pertumbuhan ekonomi. Terutama, memulihkan konsumsi rumah tangga, yang notabene merupakan kontributor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu potensi yang sangat besar mendorong konsumsi masyarakat adalah sektor properti. Setiap transaksi pada sektor perumahan hampir dipastikan memiliki angka nominal cukup besar. Namun, kebijakan memompa kinerja sektor perumahan ini bukan tanpa risiko.

Sebab, sektor ini dapat bermuka dua, yakni berwajah konsumsi jika tujuannya memenuhi rumah hunian. Namun, dapat menjadi instrumen investasi yang sangat menguntungkan jika bertujuan menyimpan dan mengembangkan aset. Permintaan perumahan untuk investasi yang tinggi tentu tak sekadar mendongkrak harga perumahan, tetapi berdampak kontraproduktif terhadap hasrat investasi sektor riil.

Jika insentif ekonomi atau margin keuntungan jauh lebih menarik, pemilik dana besar akan memilih penempatan investasi di sektor properti. Apalagi, saat ini permintaan atau daya beli masyarakat menurun sehingga risiko investasi di sektor riil—terutama di industri manufaktur—meningkat dengan margin keuntungan menurun. Jika pemerintah terlalu memberi kemudahan investasi properti, bisa jadi pedang bermata dua.

Di satu sisi, dengan keterbatasan ketersediaan lahan, harga tanah di kota besar naik fantastis. Kenaikan harga tanah di Jakarta, misalnya, bisa lebih dari 100 persen per tahun. Demikian juga di kota besar lain, seperti Bekasi, Surabaya, Medan, dan Semarang. Alhasil, para pengembang kesulitan menyediakan perumahan yang sesuai daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.

Hasil riset Indef tahun 2015, ada kekurangan (backlog) kepemilikan rumah sekitar 14 juta unit. Backlog ketersediaan rumah hunian ini meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan harga tanah yang tidak mampu diikuti peningkatan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.

Dengan kondisi backlog kepemilikan rumah hunian yang masih tinggi, pemerintah harus hati-hati dan penuh perhitungan dalam memberikan berbagai stimulus di sektor properti. Pemerintah tidak hanya melonggarkan batas maksimum pemberian kredit (loan to value/LTV), fasilitas inden, dan menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) final dari 5 persen menjadi 2,5 persen. Pemerintah juga menurunkan pajak dana investasi real estat (DIRE). Bahkan, secara khusus pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi XIII guna memangkas 70 persen perizinan, dari 33 izin menjadi 11 izin. Dari Paket Kebijakan Ekonomi XIII ini diharapkan dapat menghemat sekitar 30 persen biaya bagi pengembang.

Pemerintah berkomitmen menyederhanakan izin pembangunan perumahan, dari 42 jenis perizinan menjadi 8 jenis perizinan. Penyederhanaan izin ini diharapkan dapat memangkas proses pengurusan dari 26 bulan menjadi 14 hari kerja. Salah satu izin yang dihilangkan adalah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Sebab, izin ini mestinya sudah termasuk dalam izin tata ruang. Dalam pembuatan tata ruang wilayah, harus dilakukan kajian untuk daya dukung dan daya tampung suatu kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perumahan lebih dulu.

Di samping penyederhanaan jenis izin, pemerintah juga harus membuat standardisasi perizinan pembangunan perumahan di semua daerah. Sebab, setiap daerah memiliki jumlah perizinan yang berbeda-beda, misalnya Manado 14 perizinan, DKI Jakarta 13 perizinan, sedangkan di daerah lain hanya 5-6 perizinan.

Di sisi lain, tidak dimungkiri, berbagai kemudahan, penyederhanaan, dan stimulus di sektor properti berpotensi mengangkat pasar perumahan. Pertumbuhan sektor properti akan kembali bergeliat. Omzet penjualan perumahan juga meningkat. Artinya, ada peningkatan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga yang tentu memiliki dampak berganda (multiplier effect) dalam memacu perekonomian. Kemudahan dan penyederhanaan perizinan pembangunan perumahan wajib dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing sektor properti. Namun, insentif yang berlebihan dalam hal pengurangan PPh final dan penurunan pajak investasi DIRE harus dievaluasi. Harus ada kajian yang komprehensif antara efektivitas meningkatkan investasi di perumahan dengan kewajiban negara dalam memenuhi kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Seyogianya, kebijakan pemerintah mampu menempatkan kebutuhan rumah untuk hunian dan rumah sebagai instrumen investasi secara seimbang atau proporsional. Harus ada regulasi yang jelas, membedakan kewajiban di antara kedua hal itu. Pemenuhan rumah untuk hunian harus menjadi prioritas pemerintah. Sebab, hal ini merupakan amanah konstitusi dan kebutuhan dasar masyarakat. Permintaan rumah sebagai instrumen investasi harus memberlakukan pajak progresif. Konsekuensinya, untuk kepemilikan rumah kedua, ketiga, dan seterusnya harus dikenai pajak yang lebih besar.

*) ENNY SRI HARTATI, DIREKTUR INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE

Sumber: Harian Kompas edisi 3 Oktober 2016, di halaman 15 dengan judul "Simalakama Investasi Properti".

Mencegah Krisis Keuangan

MENCEGAH KRISIS KEUANGAN

Oleh: NUGROHO AGUNG WIJOYO*)

Belajar dari pengalaman krisis keuangan tahun 1997-1998, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya perbaikan untuk membangun sistem keuangan yang lebih tangguh dan siap dalam menghadapi krisis sistem keuangan, khususnya perbankan.

Untuk mengantisipasi kemungkinan krisis keuangan berulang di Indonesia, pemerintah bersama dengan DPR pada 17 Maret 2016 mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kehadiran UU PPKSK ini berada dalam momentum yang sudah lama dinanti-nantikan kelahirannya dan telah diamanatkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Bank Indonesia.

Apa itu UU PPSK?

UU ini mengatur bagaimana Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan; melakukan penanganan krisis sistem keuangan; dan melakukan penanganan permasalahan bank sistemik, baik dalam kondisi stabilitas sistem keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan.

Koordinasi keempat lembaga untuk melakukan pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan tersebut mencakup bidang: (a) fiskal; (b) moneter; (c) makroprudensial dan mikroprudensial jasa keuangan; (d) pasar keuangan; (e) infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran dan penjaminan simpanan; serta (f) resolusi bank.

Keempat lembaga tersebut diwadahi dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) dan pimpinan keempat lembaga tersebut menjadi anggota KKSK. KKSK menyelenggarakan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan perekonomian nasional.

Ironisnya, meski LPS disebutkan paling banyak dalam UU ini, yaitu sebanyak 134 kali (bandingkan dengan OJK sebanyak 58 kali dan BI sebanyak 34 kali), Ketua Dewan Komisioner LPS hanya sebagai anggota KKSK tanpa hak suara (Pasal 4 Ayat 3 Huruf d UU PPKSK). Melihat peranan yang begitu berat dan strategis, terlihat dari penyebutannya sebanyak 134 kali dalam UU ini, sangatlah jelas bahwa LPS bukan sebagai lembaga pelengkap penderita, meski sering dipelesetkan menjadi Lembaga Penangan Segala (LPS).

Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, mengemukakan bahwa titik berat UU ini terletak pada pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik dan sebagai bagian penting dari sistem keuangan yang didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama, permasalahan bank sistemik dapat menyebabkan gagalnya sistem pembayaran yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem keuangan secara efektif dan berdampak langsung pada jalannya roda perekonomian. Kedua, sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola sektor perbankan, khususnya bank sistemik. Untuk itu, perlu dijaga keberlangsungan fungsi dan layanan utama bank dari kemungkinan kegagalan.

Mengapa bank sistemik penting?

Bank sistemik adalah bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. Dan kegagalan bank dipahami akan memiliki dampak merugikan terhadap perekonomian (Kaufman, 1995).

Dampak buruk itu dapat dilihat dari sisi besarnya biaya fiskal untuk mengatasi krisis. Biaya penanganan krisis 1997/1998 merupakan salah satu yang termahal di dunia. Dibutuhkan dana sekitar Rp 600 triliun untuk melakukan program rekapitalisasi perbankan, setara hampir 50 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat itu. Bahkan, kalau dihitung dari hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi, Indonesia kehilangan 43 persen potensi pertumbuhan ekonominya selama lima tahun sejak krisis 1997 (Laeven dan Valencia, 2008).

Fungsi "lender of the last resort"

UU ini meniadakan konsep bail outsehingga tidak ada lagi "era pemberian Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD)" oleh BI kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan keuangan dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 11 Ayat (4) UU Bank Indonesia, mengingat pasal ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 53 Ayat (1) huruf b UU PPKSK).

Dan, UU ini mengenalkan konsep bail insebagaimana disampaikan dalam penjelasan Pasal 21 Ayat (1) UU ini. Paradigma bail in yang disampaikan dalam UU ini menggantikan bail outdalam mengatasi permasalahan perbankan nasional. Salah satu contoh, pemberian bail out Bank Century diyakini telah memberikan "huru-hara", baik dari sisi ekonomi, politik, maupun dari sisi hukum.

FPD di Indonesia sebenarnya bukanlah barang baru. Sebelum lahirnya undang-undang yang baru (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999), Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of the last resort dapat memberikan FPD kepada bank bermasalah sebagaimana diatur dalam undang-undang yang lama, yaitu Pasal 29 Ayat (1) dan Pasal 32 Ayat (3) serta Penjelasan Umum UU No 13 Tahun 1968 yang menyebutkan bahwa "sebagai lender of the last resort, Bank Sentral dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapi dalam keadaan darurat".

Namun, pengalaman pahit dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang merupakan jenis FPD, yang diberikan pada saat krisis keuangan 1997/1998 telah mendorong pemerintah dan DPR untuk menghilangkan kewenangan BI dalam memberikan FPD. Ternyata "trauma" pemberian BLBI ini telah meninggalkan "luka batin" yang begitu mendalam. Jadi, pemberian FPD di masa lalu bukanlah opsi sukarela dan kontrak manajemen, melainkan sebuah takdir sejarah.

Dari uraian di atas, ternyata penanganan kesulitan keuangan bank sistemik tanpa pemberian FPD membuat UU ini menjadi kehilangan rohnya. Betapa tidak, peranlender of the last resort yang melekat pada bank sentral sangat penting untuk pencegahan dan penanganan krisis. Kemampuan bank sentral yang dapat menyediakan uang tunai dalam jumlah yang sangat besar dalam waktu singkat, yang tidak dimiliki lembaga pemerintah, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan bank sentral mempunyai peran lender of the last resort.

Pada kondisi krisis sistemik, kecepatan penanganan krisis merupakan suatu keharusan (speed is the essence), yang jika tidak ditangani dengan segera, krisis benar-benar akan terjadi. Negara mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan perekonomian nasional, sesuai dengan amanat Pasal 33 Ayat (4) UUD Tahun 1945, terutama kondisi krisis sistemik (baca "keadaan darurat").

UU PPKSK ini diharapkan akan membawa dampak positif bagi penanganan bank sistemik ataupun yang tidak sistemik saat kesulitan keuangan, baik likuiditas maupun solvabilitas. Hal ini dapat dilakukan dengan amanah, berhati-hati (prudent) dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mengingat penanganannya menyangkut kepentingan publik di industri perbankan dan untuk menjamin stabilitas sistem keuangan agar tak terganggu serta tetap menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perbankan.

Menteri keuangan saat itu, Bambang PS Brodjonegoro, menyatakan bahwa UU PPKSK ini akan menjadi landasan KSSK dalam menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia; mendorong pencegahan krisis melalui penguatan fungsi pengawasan perbankan, khususnya bank yang ditetapkan sebagai bank sistemik; menangani permasalahan bank dengan mengutamakan mekanismebail in, yaitu dengan menggunakan sumber daya bank itu sendiri yang berasal dari pemegang saham dan kreditor bank, hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank, serta kontribusi industri perbankan. Dengan mekanisme bail in, diharapkan penanganan permasalahan bank tidak akan membebani keuangan negara (baca APBN).


*)NUGROHO AGUNG WIJOYO, KANDIDAT DOKTOR MANAJEMEN KEUANGAN UNIVERSITAS INDONESIA

Sumber: Harian Kompas edisi 3 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Mencegah Krisis Keuangan"

Selasa, 20 September 2016

Tantangan Industri Keuangan

Oleh: J SOEDRADJAD DJIWANDONO*)

Baru-baru ini saya berbicara dalam pertemuan sejumlah bankir pengelola risiko. Acara diselenggarakan oleh Banker Association for Risk Management (Bara), asosiasi pengelola risiko bank-bank, di Yogyakarta. Saya membahas kritik terhadap perbankan yang katanya telah meninggalkan fungsi utamanya sebagai lembaga perantara keuangan. Banyak kasus pelanggaran ketentuan atau kewajaran perbankan seperti insiders trading, penentuan Libor, serta kegiatan illicit financing dan cybercrimes.
Presentasi saya antara lain untuk menjawab mengapa serta bagaimana mengatasinya melalui manajemen risiko di perbankan. Saya pernah menulis di harian Kompas beberapa waktu lalu mengenai berbagai skandal keuangan dan permasalahan keserakahan (greed) yang berkaitan dengan kasus-kasus tersebut.
Minggu sebelumnya, media dipenuhi dengan berita dan analisis tentang tantangan yang dihadapi bank-bank sentral negara maju. Masalah itu dibahas dalam pertemuan tahunan para penguasa moneter dan ahli ekonomi-keuangan-perbankan dunia di Jackson Hole, Wyoming, AS, diselenggarakan oleh Fedres Kansas City. Pertemuan ini bersifat informal, tetapi selalu menarik perhatian global karena menyangkut bagaimana para gubernur bank sentral dan menteri keuangan serta lembaga multilateral dunia ataupun para ahli ekonomi moneter-perbankan mendiskusikan permasalahan perekonomian dunia dan peran otoritas moneter untuk keluar dari berbagai masalah global akibat resesi yang berkepanjangan atau great recession. Sebagian permasalahan juga didiskusikan dalam pertemuan puncak G-20 di Hangzhou, Tiongkok, yang baru lalu.
Kinerja otoritas moneter negara-negara maju dinilai tidak berhasil mendorong ekonomi negara masing-masing untuk tumbuh memadai, bahkan dalam mendorong laju inflasi ke tingkat yang diinginkan untuk mendorong permintaan yang lesu. Padahal, mereka-Bank Sentral AS (The Fed), Bank Sentral Inggris (BoE), Bank Sentral Eropa (ECB), dan Bank Sentral Jepang (BoJ)-telah melaksanakan kebijakan moneter di luar kelaziman, non-konvensional. Otoritas moneter juga dinilai terlalu berkuasa, sedangkan mereka semua adalah pejabat yang menduduki posisi masing-masing tanpa melalui proses pemilihan yang demokratis. Kritik ini lebih santer karena tumpuan harapan diletakkan pada kebijakan moneter pada waktu kebijakan fiskal sukar diandalkan karena sejumlah alasan.
Suku bunga negatif
Otoritas moneter tampak seperti kehabisan amunisi menghadapi perekonomian yang lemah dalam pertumbuhan, lemah dalam produktivitas, lemah dalam inflasi yang menjadi bagian dari the new normal ini. Buat saya, kebijakan moneter, bahkan dalam versi yang non-konvensional, termasuk suku bunga nominal yang negatif dan pembelian sekuritas bank-bank atau quantitative easing ataupunqualitative easing hanya dapat membantu kebijakan fiskal, tetapi tidak dapat menggantikannya.
Dalam pada itu, implikasi dari pelaksanaan kebijakan moneter non-konvensional-seperti suku bunga yang negatif secara nominal-belum seluruhnya diketahui. Tidak demikian halnya dengan suku bunga negatif dalam arti riil, di mana nilai nominal dikoreksi dengan laju inflasi, yang buat perekonomian tinggi laju inflasinya, sudah banyak terjadi
Benarkah perbankan mengabaikan fungsi pokoknya? Suatu kritik keras terhadap industri keuangan-perbankan yang terutama dilancarkan di AS adalah bahwa mereka dianggap tak memedulikan tugas pokoknya sebagai perantara keuangan (financial intermediary). Bank merupakan lembaga perantara keuangan karena mengumpulkan dan menyimpan dana dari masyarakat dalam deposito dan tabungan dengan memberi bunga sebagai imbalan bagi pemiliknya. Dana tersebut oleh bank disalurkan kepada yang membutuhkannya dalam bentuk pinjaman atau kredit dengan menerima bunga sebagai imbal jasanya.
Apakah lembaga keuangan tidak lagi menjalankan fungsi perantara keuangan tersebut? Tentu bukan demikian. Kritik tersebut dimaksud untuk menunjukkan bahwa bank-bank sekarang tidak sepenuhnya melakukan kegiatan intermediasi. Ada beberapa kecenderungan yang tampak jelas dalam praktik perbankan dalam beberapa dasawarsa terakhir.
Dalam hal sumber dana perbankan, sejak maraknya proses keuangan yang disebut sekuritisasi, bank mengubah hak tagih kepada nasabah penerima pinjaman menjadi sekuritas atau surat utang. Konkretnya bank menerbitkan surat utang atas dasar tagihan kepada nasabah dari pinjaman yang diberikan sebelumnya. Surat utang ini menjadi sekuritas yang dapat dijual di pasar modal. Salah satu bentuk yang populer adalah sekuritisasi pinjaman hipotik, dikenal sebagai mortgage based securities (MBSs). Tetapi ada banyak ragam assets based securities yang digunakan bank untuk memobilisasi dana. Hasil penjualan sekuritas jadi sumber dana bank.
Dengan demikian, sumber dana bank tidak lagi (hanya) berasal dari deposito dan tabungan, tetapi juga dari hasil penjualan surat utang. Dengan proses ini, fungsi intermediasi menjadi terputus. Istilah teknisnya adalah perubahan darioriginate to hold dalam proses bank sebagai lembaga intermediasi keuangan, menjadi originate to distribute, di mana hak tagih yang merupakan aset bank dipegang pembeli sekuritas yang banyak dan tersebar. Bank juga meminjam dana kepada bank-bank dan sumber dana lain.
Profesor Admati dari Universitas Standford bersama rekannya, Hellwig dari Jerman, menulis buku yang menunjukkan kecenderungan umum operasi bank dengan mengatakan bahwa dengan proses tersebut perbankan telah mengenakan baju baru. Yaitu pinjaman dijadikan sumber pembiayaan seperti perusahaan. Ini yang menjadi judul buku mereka, The Bankers' New Clothes: What's wrong with banking and what to do about it (2013). Karena kecenderungan semakin banyak pembiayaan kegiatan ekonomi melalui pinjaman (levereging), bank-bank juga melakukan. Namun dalam proses, bank meninggalkan fungsi pokoknya yang berbeda dengan perusahaan biasa.
Sebagai nasabah bank pembaca kiranya merasakan janji bank yang memprioritaskan kepentingan nasabah itu sering hanya menjadi slogan, apalagi bagi yang bukan nasabah prioritas. Secara umum, buku teks yang mengatakan bahwa dalam ekonomi pasar customer is the king itu rasanya semakin tidak ada artinya. Coba Anda mau menghubungi petugas pelayanan konsumen melalui telepon, berapa kali Anda harus tekan tombol sebelum berbicara dengan operator? Setelah tersambung pun, Anda berbicara dengan perusahaan answering service yang disewa (sub-contractor) perusahaan yang Anda ingin berhubungan. Itu pun, mereka tidak memadai menjawab pertanyaan Anda. Begitukah memperlakukan nasabah yang katanya prioritas utama?
Bagaimana dengan fungsi bank sebagai penyedia dan penyalur kredit? Keluhan dari negara-negara maju dalam menghadapi tantangan sangat lambannya laju pertumbuhan ekonomi sejak krisis keuangan dunia 2007/2008 adalah bahwa segala upaya yang dilakukan oleh otoritas moneter untuk mendorong bank-bank menyalurkan kredit ke masyarakat tidak atau sangat kurang dijalankan. Upaya mendorong pertumbuhan meskipun melalui pelaksanaan kebijakan moneter yang non-konvensional tidak berhasil.
ECB dan BoJ bahkan menerapkan suku bunga nominal di bawah nol atau negatif. Ini berarti bank justru membayar bunga untuk menempatkan dananya pada bank sentral. Tentu dengan maksud agar dana yang ada di bank-bank jangan disimpan di bank sentral, tetapi disalurkan ke masyarakat sebagai pinjaman untuk membiayai kegiatan ekonomi masyarakat.
Mengenai suku bunga nominal negatif, teori ekonomi pun menghadapi tantangan. Karena asumsi bahwa suku bunga yang menurun, apalagi sampai negatif menurut prediksi teori harusnya mendorong orang membelanjakan uang mereka. Namun kenyataan tidak demikian. Permintaan tetap lemah justru menurun. Mengapa?
Tidak sesuai prediksi
Tidak pernah dipikirkan bahwa bagi sebagian orang, seperti orang tua dan pensiunan yang harus memikirkan masa depan mereka, menghadapi suku bunga yang menurun berarti pendapatan mereka dari dana tabungan juga menurun. Hal ini dihadapi bukan dengan membelanjakan dananya, melainkan justru menambah tabungan untuk menjamin kehidupan ke depan. Jadi, dorongan meningkatkan permintaan masyarakat tidak tercapai, justru sebaliknya. Itu yang terjadi dan bukan seperti prediksi teori ekonomi.
Secara politis, kritik di masyarakat terhadap industri keuangan di AS-seperti dalam kampanye pemilihan presiden sejak awal para calon menghadapiprimary conventions-bersumber pada peran dan kontribusi dari industri keuangan. Ini yang menurut Rana Faroohar, editor dari majalah Time dalam buku barunya, Makers and Takers: The Rise of Finance and the Fall of American Business (2016), bahwa industri keuangan di AS memegang kekuasaan yang jauh melampaui proporsinya. Menurut Faroohar, industri keuangan yang mewakili 7 persen dari perekonomian dan hanya menciptakan 4 persen lapangan kerja, menikmati 25 persen dari seluruh keuntungan korporasi.
Lebih lanjut dikemukakan Faroohar bahwa sektor finansial justru menjadi kendala (headwind) dan bukan katalis pertumbuhan ekonomi. Ini yang menumbuhkan demonstrasi occupy Wall Street beberapa waktu lalu dan mengapa semua capres dalam pemilihan presiden di AS berjanji memerangi Wall Street.
Bagaimana di Indonesia?
Bahwa ada kecenderungan meningkatnya ketimpangan pendapatan masyarakat sekali-sekali kita mendengar atau membacanya. Data statistik memang menunjukkan kecenderungan tersebut, seperti tampak pada koefisien gini, misalnya. Apakah ini gara-gara perilaku industri keuangan-perbankan? Tidak jelas.
Akan tetapi bagaimana kebijakan otoritas moneter dilakukan atau tidak dilakukan dengan implikasinya yang memberatkan masyarakat sebagai pembayar pajak, sekali-sekali mengemuka, diperdebatkan di berbagai fora dan media sosial.
Misalnya kebijakan penanganan krisis keuangan-perbankan menyangkut penyediaan bantuan likuiditas oleh Bank Indonesia kepada semua bank yang kekurangan likuiditas karena bank runpada waktu krisis keuangan-perbankan 1997/1998 (BLBI) dan penyelamatan Bank Century waktu Indonesia terkena imbas dari krisis keuangan global 2008/2009.
Dalam kaitan ini, sering karena unsur politik dan pada dasarnya rumitnya masalah yang tersangkut dalam kasus-kasus ini banyak yang tidak dapat (mau) membedakan antara bantuan likuiditas BLBI dan bantuan modal buat rekapitalisasi bank-bank yang semua berjumlah lebih dari Rp 600 triliun. Pembiayaannya dilakukan melalui penerbitan obligasi pemerintah dan menjadi beban anggaran negara atau pembayar pajak.

Kebanyakan tak menyadari bahwa dari jumlah itu besarnya BLBI adalah Rp 144 triliun, sedangkan sisanya lebih dari Rp 400 triliun adalah pembiayaan rekapitalisasi bank-bank. Dari jumlah ini, rekapitalisasi bank-bank BUMN berjumlah sekitar Rp 300 triliun, separuh dari nilai keseluruhan obligasi. Pemerintah menanggung beban BLBI dan rekapitalisasi sebagaimana disepakati dan diterima DPR waktu itu dengan menerima saham kepemilikan bank-bank penerima bantuan yang kemudian dijual melalui BPPN kepada investor dalam dan luar negeri.

Pada waktu-waktu tertentu susahnya perbankan didorong menyediakan dan menyalurkan kredit untuk mendorong pertumbuhan juga sering dikeluhkan di masyarakat, atau perbedaan pendapat antara pemerintah dan otoritas moneter. Di satu pihak perbankan menguasai likuiditas yang berlebih, di lain pihak dunia usaha tetap sulit memperoleh kredit perbankan. Perbankan memilih menanamkan dana berlebihnya dalam bentuk sekuritas yang lebih kecil risikonya dari pada menyalurkannya kepada dunia usaha dalam kredit perbankan.

Pada umumnya keluhan terhadap industri keuangan perbankan di Indonesia tak senyaring di negara-negara maju. Ini disebabkan pada umumnya perbankan di Indonesia setelah bangkit dari krisis 1997/1998 menjadi lebih kuat dalam permodalan, bagus dalam portofolionya, baik dalam eksposure-nya maupun dalam kepatuhan terhadap aturan prudensial. Boleh dikatakan perbankan learned the hard way dari krisis 1997/1998, tetapi sedikit demi sedikit menjadi sektor yang kuat dan memadai dalam menjalankan fungsi utamanya sebagai perantara keuangan. Akan tetapi, industri perbankan dengan seluruh pemangku kepentingannya mudah-mudahan tak mengabaikan berbagai tantangan yang saya sajikan di atas.

J SOEDRADJAD DJIWANDONO

Professor of International Economics International Political Economy Programme S Rajaratnam School of International Studies.


Sumber: KOMPAS, 19 September 2016

Isnin, 19 September 2016

Penantian Besar di Akhir Bulan September

Oleh: DAHLAN ISKAN
Senin, 19 September 2016

Inilah penantian besar yang sangat ditunggu masyarakat akhir bulan ini: siapa saja di antara nama-nama besar di negeri ini yang ikut tax amnesty.

Juga ini: seberapa banyak pejabat dan mantan pejabat yang ikut serta. Mulai tingkat mantan direktur jenderal (Dirjen) ke atas. Atau, untuk instansi tertentu, mulai tingkat mantan kepala seksi ke atas. Misalnya instansi pajak, bea cukai, dan sejenisnya. Publik tahu mereka ini tidak kalah gendutnya.

September memang bukan akhir masa tax amnesty. Namun, akhir bulan ini adalah batas periode dengan tarif tebusan termurah. Hanya 2 persen. Setelahnya akan naik. Jadi 3 persen sampai Desember 2016. Lalu 5 persen hingga Maret 2017. Lazimnya pemilik dana besar akan memilih ikut di masa tarif tebusan terkecil.

Saya tahu kemampuan Dirjen Pajak saat ini, Ken Dwijugiasteadi. Terutama dalam ”menghasut” atau ”mendorong” seseorang untuk menyukseskan tax amnesty. Saya mengenal kejagoan dan kebongolan Pak Ken sejak puluhan tahun lalu. Beliau punya cara. Punya taktik. Punya jurus yang banyak. Termasuk silat yang dikombinasi dengan kungfu sekalipun.

Karena itu, ketika Jenderal Luhut Pandjaitan menggambarkan amnesti pajak ini akan menghasilkan penerimaan negara Rp 60 sampai 80 triliun, Dirjen Pajak keluar dengan kebongolannya: Rp 165 triliun! Kalau gagal bersedia ditembak. Atau dihukum apa pun. Maka jadilah angka Rp 165 triliun itu resmi sebagai target pemerintah.

Dari pengalaman masa lalu maupun pengalaman negara lain, amnesti pajak memang mengecewakan hasilnya. Tapi, masa itu beda dengan sekarang. Waktu itu tidak ada ancaman dari kesepakatan global tentang persembunyian uang. Kini ancaman itu nyata. Orang tidak akan bisa lagi bersembunyi di balik tax haven. Waktunya pun nyata: tahun 2018. Siapa yang tidak memanfaatkan tax amnesty akan kena batunya saat itu.

Sejarah persembunyian uang di luar negeri sebenarnya sangat dalam. Terutama di Indonesia. Ada yang awalnya bisa dipahami. Tapi, ada yang tidak bisa dipahami.

Yang bisa dipahami adalah alasan ini: adanya perasaan tidak aman yang melanda golongan minoritas. Mereka itu setiap ada gejolak politik selalu jadi korban. Hartanya dirusak atau dibakar.   

Keberadaan mereka sebagai warga negara pun tidak terlalu diakui. Masa depannya selalu dihantui ketidakpastian.   

Mereka ini menyimpan sebagian hartanya di tempat yang aman. Sebagai jaga-jaga kalau ada gejolak yang membahayakan, masih punya simpanan yang aman.

Yang seperti itu terjadi di hampir semua belahan dunia. Golongan minoritas di Vietnam, Kamboja, India, dan banyak lagi melakukan hal yang sama. Bahkan, mereka sering menanam perhiasan di dalam tanah. Banyak pengungsi Vietnam, setelah aman, kembali ke negaranya untuk menggali simpanannya.

Ketakutan seperti itu seharusnya tidak ada lagi sekarang ini. Memang masih sering terbaca ancaman yang berbau rasialis di media sosial. Atau pidato tokoh tertentu yang menebar kebencian. Lalu videonya tersebar luas di internet.

Ada juga yang beralasan begini. Di zaman Pak Harto yang begitu kuat dan sepenuhnya didukung tentara saja, masih terjadi kerusuhan Mei 1998. Trauma lama terus terngiang.

Untuk yang seperti itu sebenarnya sudah kurang relevan lagi. Di zaman Pak Harto tidak ada demokrasi. Sekarang sudah ada demokrasi.

Saya percaya demokrasi akan menyelesaikan persoalan mayoritas-minoritas. Semakin matang kita berdemokrasi, semakin terjamin hak-hak minoritas. Semakin dewasa demokrasi, semakin sama hak-hak warga negara.

Bahwa masih ada perasaan kurang aman di sebagian golongan minoritas, itu karena demokrasi kita memang belum sepenuhnya dewasa. Tapi, kita yakin kita sedang menuju kedewasaan.

Jadi, alasan menyimpan sebagian harta di luar negeri untuk jaga-jaga masa depan mestinya tidak relevan lagi. Masa depan kita di Indonesia. Kita perkuatlah negara yang jadi masa depan kita itu. Mendewasakan demokrasi adalah agenda kita bersama.

Memang demokrasi yang dewasa memerlukan syarat lain: tegaknya hukum. Ini doktrin. Seperti uang tidak bisa disebut uang kalau tidak punya dua sisi. Tidak bisa untuk belanja kalau gambarnya hanya ada di satu sisi. Demokrasi dan tegaknya hukum. 

Karena itu, dewasanya hukum harus jadi prioritas pemerintah. Untuk merebut kepercayaan rakyat dan untuk melengkapi syarat dewasanya demokrasi.

Itulah yang terjadi di Amerika. Inilah yang saya dalami selama enam bulan terakhir saat saya lebih banyak tinggal di Amerika.

Minoritas tidak merasa terancam di sana. Kecuali, he he he, gara-gara satu orang bernama Donald Trump. Tapi, dia pun tidak akan laku. Kalaupun terpilih nanti, itu karena kelemahan Hillary Clinton. Dan Trump setelah terpilih pun juga tidak akan begitu.

Memang ada keraguan lain. Melemahnya rupiah dari waktu ke waktu merangsang orang menyimpan dana di luar negeri. Agar nilai kekayaan tidak merosot. Selalu saja terbukti, yang menyimpan dalam bentuk dolar lebih baik nasibnya. Dibanding saya, misalnya, yang tidak pernah menyimpan uang dalam dolar.

Pengusaha tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Pemerintah yang tidak menjaga nilai tukar rupiah ikut bersalah. Tapi, pemerintah akan selalu menyadari ini. Dan akan selalu berusaha memperkuat rupiah.

Saya tahu teman-teman pengusaha besar adalah pendukung Presiden Jokowi. Kini saatnya mereka menunjukkan dukungan mereka itu lebih ikhlas. Dengan cara ikut tax amnesty.

Kalau minggu ini ada dua saja nama besar yang secara terbuka menyatakan ikut amnesti pajak, dampak WOW-nya akan sangat heroik. Akan jadi panutan. Yang bisa menggeret gerbong yang panjang. Lalu minggu depannya dua nama besar lagi. Dan lagi. Dan lagi. 

Sayangnya, saya tidak punya simpanan di luar negeri. Kalau ada, saya mau jadi pendaftar yang pertama. Bahkan, meski tidak punya pun, saya akan ikut. Namanya fasilitas. Sayang jika tidak dimanfaatkan.

Tinggal Dirjen Pajak yang benar-benar menjamin kerahasiaan angka-angka mereka. Juga satu jaminan bahwa yang tidak mau ikut akan terkena batunya. (*)

Rabu, 10 Ogos 2016

Anjing Bahagia yang Mati Bunuh Diri

Oleh: Agus Noor
Ilustrasi: karya Hartono Wibowo

KORUPTOR atau bukan, ada baiknya kalian menyimak cerita anjing Pak Kor ini. Setiap orang punya nasib sendiri-sendiri, tetapi kalau ada anjing yang nasibnya lebih beruntung dari manusia, sudah sepantasnya kalau kami iri.


Sableh, seorang pemulung, menemukan anjing yang sekarat di tempat pembuangan sampah. Tubuh anjing itu bobrok oleh borok, belepotan lumpur penuh kutu dengan kepala belepotan darah terkena bacokan. Begitu menyedihkan anjing itu, sampai maut pun tak berani mendekat. Sableh membawa anjing itu bukan tersebab kasihan tapi karena ia berpikir bisa menjual anjing itu ke penjual daging anjing. Sableh mengikat kedua kaki anjing itu kemudian berhari-hari menjemurnya di atap seng, berharap luka penuh kutu di kulit anjing itu mengering dan ia bisa menjualnua dengan harga sedikit mahal. Kalau pun tak laku, ia bisa menyembelih anjing itu untuk anak istrinya yang belum tenteu setahun sekali makan daging.
Tempat tinggal sableh mendempet tembok belakang kedaiaman Pak Kor. Sebenarnya satpam rumah Pak Kor telah berkali-kali menyuruh Sableh membongkar rumah liarnya itu. Karenanya Sableh begitu gugup ketika melihat Pak Kor muncul. Ia langsung pasang wajah mengiba, berharap Pak Kor tak mengusirnya. Ternyata Pak Kor bertanya soal suara anjing yang didengarnya terus-menerus mengerang sepanjang malam. Sableh menunjuk anjing yang dua hari lalu ditemukan itu. Siang begitu terik, dan anjing itu terus menguik menggeliat kepayahan diatas seng panas seperti digoreng hidup-hidup. Wajah Pak Kor terlihat begitu terguncang. alu tanpa banyak cing-cong mengeluarkan, 500 ribu, langsung diserahkan pada Sableh. "Biar anjing ini saya rawat." kata Pak Kor.
Mendapat rezeki nomplok yang sama sekali tak diduganya, Sableh langsung membungkuk-bungkuk dan setelahnya tak henti-henti menceritakan kebaikan Pak Kor pada tetangganya. "Kalau saya jual ke warung sengsu, paling dapat lima puluh ribu," kata Sableh. "Benar-benar beruntung kita punya tetangga sebaik Pak Kor. Meski kaya berliau tidak sombong. Ia masih mau menyempatkan menengok kita yang melarat begini melarat. Kalau semua orang kaya di negeri ini sebaik Pak Kor, pasti enggak ada orang miskin yang kelaparan."
Hari itu, dengan uang pemberian Pak Kor, Sableh langsung pergi ke restoran Padang yang terkenal paling enak. Sableh mengembat empat potong rendang sekaligus, membawa pulang banyak lauk-pauk untuk anak istrinya. Tapi tak membagi secuil pun untuk tetangganya.

***

Empat bulan berselang, Sableh terkejut ketika berpapasan dengan Pak Kor yang sedang berjalan-jalan menuntun seekor anjing yang terlihat begitu cerita. Sesekali anjing itu menyalak riang dan berlarian kecil mengitari Pak Kor yang tertawa gembira. Sableh sama sekali tak menyangka, anjing yang beberapa waktu ditemukan nyaris koit itu kini terlihat begitu sehat. Tak pernah Sableh melihat wajah anjing yang begitu bahagia. Kulitnya coklat bersih, tak ada lagi kutu atau bekas luka, dan matanya begitu jernih penuh syukur dan terima kasih.
Penampilan Pak Kor juga menjadi terlihat lebih gembira, tak tampak kalau ia sudah berumur 60 tahunan. Ramut klimis rapi tubuh sigap seperti orang yang rajin olah raga; warna sepatu, celana sepertika kaki dan kaos polo coklat cerah yang dikenakan seperti sengaja diserasikan dengan warna bulu anjing itu. Pak Kor dan anjing itu benar-benar pasangan yang modis.
"Terima kasih telah membuat saya bertemu dengan anjing ini," ujar Pak Kor. "Perasaan bahagia telah bisa menolongnya telah bisa membuat saya merasakan sesuatu yang berharga dalam hidup saya. Setiap kali menolong, sebenarnya kita sedang menabung kebahagiaan." Lalu Pak Kor bercerita, bagaimana ia telah membawa anjing itu ke dokter agar mendapat perawatan terbaik.
Wajah Sableh hanya cemberut ketika mendengar berapa biaya yang dihabiskan Pak Kor untuk kesekmbuhan anjing tiu. 
"Ternyata selama ini saya keliru menilai Pak Kor," kata Sableh pada istrinya. Sembari berbaring di tikar, pandangan Sableh menerawang ke atap seng rombeng bolong-bolong hingga sinar bulan yang lembut menyelusup masuk, membuat kamar petak tak berlistrik itu sedikit mendapatkan limpahan cahaya. Sementara istrinya duduk bersimpuh sembari menyisir rambut.
"Emang kenapa?"
"Kalau dipikir-pikir, Pak Kor itu bukan orang yang baik, tapi orang yang suka pamer."
"Kok bisa gitu?"
"Bayangin, kenapa dia mesti ngabisin banyak duit buat nyelamatin itu anjing? Kalau emang dia bener-bener dermawan yang berniat menolong, yang mestinya ditolong ya hidup kita ini, bukan anjing buduk itu."
"Ah, jangan gitu.. sebaik-baiknya nasib anjing pastilah masih lebih baik nasib manusia."
"Kalau keadaanya begini, saya rela bertukar nasih dengan anjing itu, Setidaknya anjing itu kini hidupnya jauh lebih nyaman. Tinggal di rumah mewah. Tiap hari dapat makan enak. Kabarnya kalau makan daging pun selalu daging impor. Kamu tahu, berapa biaya makan untuk anjing itu? Bisa buat biaya makan kita berbulan-bulan. Baru sakit sedikit saja, Pak Kor langsung membawa anjing itu ke dokter. Padahal kamu tahu sendiri, itu Mak Jumi, yang rumahnya di pojok gang itu, sudah bertahun-tahun tergolek digerogoti bermacam-macam penyakit, jangankan ke dokter, beli sebiji obat pun kagak mampu. Nah, kalau memang Pak Kor berniat menolong, kenapa enggak membawa Mak Ijah ke rumah sakit, kenapa malah menghambur-hamburkan uang buat ngobatin anjing yang mungkin hanya masuk angin. Dikerokin juga sudah sembuh!"
"Masa anjing dikerokin."
"Saya baru ngerti, selama ini Pak Kor sebenarnya sedang meledek kita. Menolong anjing itu hanyalah caranya pamer kekayaan. Sekarang ssaya benar-benar merasa terhina karena dia telah ngasih 500 ribu buat kita, sementara dengan enteng dia menghambur-hamburkan puluhan juga buat anjing itu."
"Sudah, jangan marah-marah terus," istrinya berbaring pelan. Bau keringat istrinya membuat Sableh menarik nagas dalam-dalam. Lalu beringsut merapatkan tubuhnya. "Makanya, jangan cuman doyan kawin kayak anjing...” Istriknya cekikian geli. Setelahnya cahaya lembut bulan yang menyelusup kamar terasa gemetar oleh nafas keduanya.

***

Di antara semua penyait hati manusia, perasaan iri selalu lebih gampang cepat menular. Nasib baik anjing itu seperti pelan-pelan tapi merancap dalam, membuat sayatan panjang yang melukai perasaan kami, menimbulkan perasaan lengang yang semakin lama membuat kami bertambah merana karena telah bertahun-tahun hidup berdesakan di perkampungan yang tak hanya sumpek tapi juga bertambah busuk, sementara anjing itu bisa seceapt kilat hidup serba berkecukupan di rumah megah Pak Kor.
Anjing itu mendapatkan semua kemewahan hidup yang tak mungkin dinikmati oleh orang miskin seperti kami. Sudah sepantasnya kami merasa iri pada anjing itu, yang setiap pagi terlihat meloncat-loncat riang ketika Pak Kor hendak berangkat kerja dengan mobil mewahnya.
Orang-orang kini sering menyebut anjing Pak Kor sebagai anjing paling bahagia di dunia. Secara berkelakar, kadang kami membandingkan anak-anak kami dengan anjing Pak Kor. “Semoga anak-anak kita kelak seperti anjing Pak Kor.” Dan kami tertawa, antara nyengir dan getir. Ada lagi kejadian, seorang anak dimarahi ayahnya karena setiap hari hanya malas-malasan, “Mau jadi apa kamu kalau nggak mau belajar?!” Dengan enteng anak itu menjawab, “Mau jadi anjing Pak Kor,” lalu anak itu meloncat-loncat sambil menirukan gongongan anjing: guk guk guk. Kalian bisa banyangkan perasaan ayahnya. Membanding-bandingkan hidup kami dengan nasib baik anjing itu hanya kian menimbulkan perasaan sakit dan terhinda.
Beberapa orang sudah merencanakan niat, dengan berbagai cara, untuk mencelakai atau sekalian membunuh anjing itu. Tapi sebagian dari kami mengingatkan, agar jangan cari masalah dengan orang kaya itu. Bagaimana pun kita tak bileh melupakan kebaikan Pak Kor, kata Pak Rt mengingatkan, ketika suatu malam duduk-duduk di gardu ronda bersama beberapa warga. Ingat, setelah banjir tahun lalu, siapa yang langsung memperbaiki jalan di depan gang kita yang rusak penuh genangan air itu? Pak Kor, kan! Tiap menjelang Lebaran rumah Pak Kor juga terbuka buat kita, kita selalu di undang makan-makan dan dapat pembagian beras meskipun cuma beras miskin. Tiap kampung kita ada acara, dari tujuhbelasan sampai perayaan Mauludan, Pak Kor juga selalu ngasih sumbangan.
Benar yang dikatakan Pak RT, bagaimana pun Pak Kor orang yang baik. Kami ingat, dulu sewaktu masih kuliah, Pak Kor juga tinggal sekampung dengan kami. Ia kuliah sambil bekerja serabutan apa saja. Orangnya memang ulet dan pintar melihat peluang sekaligus ramah. Keramahan itulah yang membuat nasibnya cepat berubah. Lalu ia pelan-pelan mulai membangun rumahnya, dari rumah sederhana kemudian membeli tana di sekelilingnya, sampai kini rumah itu menjadi rumah paling mewah di kampung kami. Mengingat kisah hidup Pak Kor kami menjadi bisa memahami, kenapa ia menolong anjing itu. Mungkin ketika melihat anjing itu ia teringat dirinya yang dulu juga rombeng dan compang-camping.
Malam itu, sayup-sayup kami mendengar suara lolong anjing Pak Kor. Betapa bahagianya anjing itu. Ah, kebahagiaan memang gampang menimbulkan cemburu.
Karena itulah, betapa kami kaget dan nyaris tak percaya, ketika mendengan kabar anjing Pak Kor mati bunuh diri. Baru kali ini kami mendengar ada anjing bunuh diri. Kalau pun itu benar terjadi, kami tak habis pikir, kenapa anjing itu mesti bunuh diri padahal hidupnya begitu bahagia?
“Benar, anjing itu gantung diri,” kata satpam yang menjaga rumah Pak Kor, ketika kami datang untuk menanyakan kabar kematian anjing itu. Ini sungguh kejadian paling konyol yang pernah kami dengar. Kami sempat melongok, rumah Pak Kor begitu sepi. Beberapa hari lalu Pak Kor memang tertangkap tangan dan ditahan karena kasus korupsi.
Kami teringat pada anjing yang bahagia itu, ketika ada yang nyeletuk. “Mungkin, ini mungkin lho ya, anjing itu mati bunuh diri karena malu, ternyata selama ini ia makan dengan hasil korupsi.” Terdengar lebih konyol dan lucu.

Tapi kami tak bisa tertawa.
(Cerita buat Putu Wijaya)



*) Sumber: KOMPAS, Minggu, 7 Agustus 2016.
*) Agus Noor, menulis buku Cerita Buat Para Kekasih (Gramedia, 2014). Buku lain yang sudah terbit antara lain Bapak Presiden yang Terhormat, Memorabilian, Selingkuh itu Indah, Rendezvous, Matinya Toekang Kritik, Potongan Cerita di Kartu Pos, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, dan Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan. Menulis naskah lakon dan menyutradarai pertunjukan teater dan konser musik untuk Slank Yovi Widianto, Gleen Fredly, dan lain-lain.