Isnin, 3 Oktober 2016

Analisis Ekonomi: Simalakama Bisnis Properti

ANALISIS EKONOMI:
Simalakama Investasi Properti

Oleh: ENNY SRI HARTATI*)

Di tengah pelambatan ekonomi, sudah sewajarnya pemerintah menempuh berbagai upaya untuk menggerakkan sumber pertumbuhan ekonomi. Terutama, memulihkan konsumsi rumah tangga, yang notabene merupakan kontributor terbesar dalam pertumbuhan ekonomi. Salah satu potensi yang sangat besar mendorong konsumsi masyarakat adalah sektor properti. Setiap transaksi pada sektor perumahan hampir dipastikan memiliki angka nominal cukup besar. Namun, kebijakan memompa kinerja sektor perumahan ini bukan tanpa risiko.

Sebab, sektor ini dapat bermuka dua, yakni berwajah konsumsi jika tujuannya memenuhi rumah hunian. Namun, dapat menjadi instrumen investasi yang sangat menguntungkan jika bertujuan menyimpan dan mengembangkan aset. Permintaan perumahan untuk investasi yang tinggi tentu tak sekadar mendongkrak harga perumahan, tetapi berdampak kontraproduktif terhadap hasrat investasi sektor riil.

Jika insentif ekonomi atau margin keuntungan jauh lebih menarik, pemilik dana besar akan memilih penempatan investasi di sektor properti. Apalagi, saat ini permintaan atau daya beli masyarakat menurun sehingga risiko investasi di sektor riil—terutama di industri manufaktur—meningkat dengan margin keuntungan menurun. Jika pemerintah terlalu memberi kemudahan investasi properti, bisa jadi pedang bermata dua.

Di satu sisi, dengan keterbatasan ketersediaan lahan, harga tanah di kota besar naik fantastis. Kenaikan harga tanah di Jakarta, misalnya, bisa lebih dari 100 persen per tahun. Demikian juga di kota besar lain, seperti Bekasi, Surabaya, Medan, dan Semarang. Alhasil, para pengembang kesulitan menyediakan perumahan yang sesuai daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.

Hasil riset Indef tahun 2015, ada kekurangan (backlog) kepemilikan rumah sekitar 14 juta unit. Backlog ketersediaan rumah hunian ini meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan harga tanah yang tidak mampu diikuti peningkatan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah.

Dengan kondisi backlog kepemilikan rumah hunian yang masih tinggi, pemerintah harus hati-hati dan penuh perhitungan dalam memberikan berbagai stimulus di sektor properti. Pemerintah tidak hanya melonggarkan batas maksimum pemberian kredit (loan to value/LTV), fasilitas inden, dan menurunkan Pajak Penghasilan (PPh) final dari 5 persen menjadi 2,5 persen. Pemerintah juga menurunkan pajak dana investasi real estat (DIRE). Bahkan, secara khusus pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi XIII guna memangkas 70 persen perizinan, dari 33 izin menjadi 11 izin. Dari Paket Kebijakan Ekonomi XIII ini diharapkan dapat menghemat sekitar 30 persen biaya bagi pengembang.

Pemerintah berkomitmen menyederhanakan izin pembangunan perumahan, dari 42 jenis perizinan menjadi 8 jenis perizinan. Penyederhanaan izin ini diharapkan dapat memangkas proses pengurusan dari 26 bulan menjadi 14 hari kerja. Salah satu izin yang dihilangkan adalah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Sebab, izin ini mestinya sudah termasuk dalam izin tata ruang. Dalam pembuatan tata ruang wilayah, harus dilakukan kajian untuk daya dukung dan daya tampung suatu kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan perumahan lebih dulu.

Di samping penyederhanaan jenis izin, pemerintah juga harus membuat standardisasi perizinan pembangunan perumahan di semua daerah. Sebab, setiap daerah memiliki jumlah perizinan yang berbeda-beda, misalnya Manado 14 perizinan, DKI Jakarta 13 perizinan, sedangkan di daerah lain hanya 5-6 perizinan.

Di sisi lain, tidak dimungkiri, berbagai kemudahan, penyederhanaan, dan stimulus di sektor properti berpotensi mengangkat pasar perumahan. Pertumbuhan sektor properti akan kembali bergeliat. Omzet penjualan perumahan juga meningkat. Artinya, ada peningkatan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga yang tentu memiliki dampak berganda (multiplier effect) dalam memacu perekonomian. Kemudahan dan penyederhanaan perizinan pembangunan perumahan wajib dilakukan untuk meningkatkan efisiensi dan daya saing sektor properti. Namun, insentif yang berlebihan dalam hal pengurangan PPh final dan penurunan pajak investasi DIRE harus dievaluasi. Harus ada kajian yang komprehensif antara efektivitas meningkatkan investasi di perumahan dengan kewajiban negara dalam memenuhi kebutuhan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah.

Seyogianya, kebijakan pemerintah mampu menempatkan kebutuhan rumah untuk hunian dan rumah sebagai instrumen investasi secara seimbang atau proporsional. Harus ada regulasi yang jelas, membedakan kewajiban di antara kedua hal itu. Pemenuhan rumah untuk hunian harus menjadi prioritas pemerintah. Sebab, hal ini merupakan amanah konstitusi dan kebutuhan dasar masyarakat. Permintaan rumah sebagai instrumen investasi harus memberlakukan pajak progresif. Konsekuensinya, untuk kepemilikan rumah kedua, ketiga, dan seterusnya harus dikenai pajak yang lebih besar.

*) ENNY SRI HARTATI, DIREKTUR INSTITUTE FOR DEVELOPMENT OF ECONOMICS AND FINANCE

Sumber: Harian Kompas edisi 3 Oktober 2016, di halaman 15 dengan judul "Simalakama Investasi Properti".

Tiada ulasan:

Catat Ulasan