Isnin, 3 Oktober 2016

Mencegah Krisis Keuangan

MENCEGAH KRISIS KEUANGAN

Oleh: NUGROHO AGUNG WIJOYO*)

Belajar dari pengalaman krisis keuangan tahun 1997-1998, Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya perbaikan untuk membangun sistem keuangan yang lebih tangguh dan siap dalam menghadapi krisis sistem keuangan, khususnya perbankan.

Untuk mengantisipasi kemungkinan krisis keuangan berulang di Indonesia, pemerintah bersama dengan DPR pada 17 Maret 2016 mengesahkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (UU PPKSK). Kehadiran UU PPKSK ini berada dalam momentum yang sudah lama dinanti-nantikan kelahirannya dan telah diamanatkan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan UU Bank Indonesia.

Apa itu UU PPSK?

UU ini mengatur bagaimana Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan; melakukan penanganan krisis sistem keuangan; dan melakukan penanganan permasalahan bank sistemik, baik dalam kondisi stabilitas sistem keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan.

Koordinasi keempat lembaga untuk melakukan pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan tersebut mencakup bidang: (a) fiskal; (b) moneter; (c) makroprudensial dan mikroprudensial jasa keuangan; (d) pasar keuangan; (e) infrastruktur keuangan, termasuk sistem pembayaran dan penjaminan simpanan; serta (f) resolusi bank.

Keempat lembaga tersebut diwadahi dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) dan pimpinan keempat lembaga tersebut menjadi anggota KKSK. KKSK menyelenggarakan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan untuk melaksanakan kepentingan dan ketahanan perekonomian nasional.

Ironisnya, meski LPS disebutkan paling banyak dalam UU ini, yaitu sebanyak 134 kali (bandingkan dengan OJK sebanyak 58 kali dan BI sebanyak 34 kali), Ketua Dewan Komisioner LPS hanya sebagai anggota KKSK tanpa hak suara (Pasal 4 Ayat 3 Huruf d UU PPKSK). Melihat peranan yang begitu berat dan strategis, terlihat dari penyebutannya sebanyak 134 kali dalam UU ini, sangatlah jelas bahwa LPS bukan sebagai lembaga pelengkap penderita, meski sering dipelesetkan menjadi Lembaga Penangan Segala (LPS).

Suahasil Nazara, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, mengemukakan bahwa titik berat UU ini terletak pada pencegahan dan penanganan permasalahan bank sistemik dan sebagai bagian penting dari sistem keuangan yang didasarkan pada dua pertimbangan utama. Pertama, permasalahan bank sistemik dapat menyebabkan gagalnya sistem pembayaran yang mengakibatkan tidak berfungsinya sistem keuangan secara efektif dan berdampak langsung pada jalannya roda perekonomian. Kedua, sebagian besar dana masyarakat saat ini dikelola sektor perbankan, khususnya bank sistemik. Untuk itu, perlu dijaga keberlangsungan fungsi dan layanan utama bank dari kemungkinan kegagalan.

Mengapa bank sistemik penting?

Bank sistemik adalah bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, jika bank tersebut mengalami gangguan atau gagal. Dan kegagalan bank dipahami akan memiliki dampak merugikan terhadap perekonomian (Kaufman, 1995).

Dampak buruk itu dapat dilihat dari sisi besarnya biaya fiskal untuk mengatasi krisis. Biaya penanganan krisis 1997/1998 merupakan salah satu yang termahal di dunia. Dibutuhkan dana sekitar Rp 600 triliun untuk melakukan program rekapitalisasi perbankan, setara hampir 50 persen produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat itu. Bahkan, kalau dihitung dari hilangnya potensi pertumbuhan ekonomi, Indonesia kehilangan 43 persen potensi pertumbuhan ekonominya selama lima tahun sejak krisis 1997 (Laeven dan Valencia, 2008).

Fungsi "lender of the last resort"

UU ini meniadakan konsep bail outsehingga tidak ada lagi "era pemberian Fasilitas Pembiayaan Darurat (FPD)" oleh BI kepada bank sistemik yang mengalami kesulitan keuangan dan berpotensi mengakibatkan krisis yang membahayakan sistem keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 11 Ayat (4) UU Bank Indonesia, mengingat pasal ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 53 Ayat (1) huruf b UU PPKSK).

Dan, UU ini mengenalkan konsep bail insebagaimana disampaikan dalam penjelasan Pasal 21 Ayat (1) UU ini. Paradigma bail in yang disampaikan dalam UU ini menggantikan bail outdalam mengatasi permasalahan perbankan nasional. Salah satu contoh, pemberian bail out Bank Century diyakini telah memberikan "huru-hara", baik dari sisi ekonomi, politik, maupun dari sisi hukum.

FPD di Indonesia sebenarnya bukanlah barang baru. Sebelum lahirnya undang-undang yang baru (Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999), Bank Indonesia dalam fungsinya sebagai lender of the last resort dapat memberikan FPD kepada bank bermasalah sebagaimana diatur dalam undang-undang yang lama, yaitu Pasal 29 Ayat (1) dan Pasal 32 Ayat (3) serta Penjelasan Umum UU No 13 Tahun 1968 yang menyebutkan bahwa "sebagai lender of the last resort, Bank Sentral dapat memberikan kredit likuiditas kepada bank-bank untuk mengatasi kesulitan-kesulitan likuiditas yang dihadapi dalam keadaan darurat".

Namun, pengalaman pahit dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang merupakan jenis FPD, yang diberikan pada saat krisis keuangan 1997/1998 telah mendorong pemerintah dan DPR untuk menghilangkan kewenangan BI dalam memberikan FPD. Ternyata "trauma" pemberian BLBI ini telah meninggalkan "luka batin" yang begitu mendalam. Jadi, pemberian FPD di masa lalu bukanlah opsi sukarela dan kontrak manajemen, melainkan sebuah takdir sejarah.

Dari uraian di atas, ternyata penanganan kesulitan keuangan bank sistemik tanpa pemberian FPD membuat UU ini menjadi kehilangan rohnya. Betapa tidak, peranlender of the last resort yang melekat pada bank sentral sangat penting untuk pencegahan dan penanganan krisis. Kemampuan bank sentral yang dapat menyediakan uang tunai dalam jumlah yang sangat besar dalam waktu singkat, yang tidak dimiliki lembaga pemerintah, merupakan salah satu faktor yang menyebabkan bank sentral mempunyai peran lender of the last resort.

Pada kondisi krisis sistemik, kecepatan penanganan krisis merupakan suatu keharusan (speed is the essence), yang jika tidak ditangani dengan segera, krisis benar-benar akan terjadi. Negara mempunyai kewajiban untuk menyelamatkan perekonomian nasional, sesuai dengan amanat Pasal 33 Ayat (4) UUD Tahun 1945, terutama kondisi krisis sistemik (baca "keadaan darurat").

UU PPKSK ini diharapkan akan membawa dampak positif bagi penanganan bank sistemik ataupun yang tidak sistemik saat kesulitan keuangan, baik likuiditas maupun solvabilitas. Hal ini dapat dilakukan dengan amanah, berhati-hati (prudent) dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, mengingat penanganannya menyangkut kepentingan publik di industri perbankan dan untuk menjamin stabilitas sistem keuangan agar tak terganggu serta tetap menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perbankan.

Menteri keuangan saat itu, Bambang PS Brodjonegoro, menyatakan bahwa UU PPKSK ini akan menjadi landasan KSSK dalam menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia; mendorong pencegahan krisis melalui penguatan fungsi pengawasan perbankan, khususnya bank yang ditetapkan sebagai bank sistemik; menangani permasalahan bank dengan mengutamakan mekanismebail in, yaitu dengan menggunakan sumber daya bank itu sendiri yang berasal dari pemegang saham dan kreditor bank, hasil pengelolaan aset dan kewajiban bank, serta kontribusi industri perbankan. Dengan mekanisme bail in, diharapkan penanganan permasalahan bank tidak akan membebani keuangan negara (baca APBN).


*)NUGROHO AGUNG WIJOYO, KANDIDAT DOKTOR MANAJEMEN KEUANGAN UNIVERSITAS INDONESIA

Sumber: Harian Kompas edisi 3 Oktober 2016, di halaman 6 dengan judul "Mencegah Krisis Keuangan"

Tiada ulasan:

Catat Ulasan