Jumaat, 27 April 2012

Pembatasan Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi


Oleh : Toni Prasetyo  Utomo


Gambar : centraldemokrasi.com
Beberapa bulan kedepan pemerintah akan mencanangkan penghematan Bahan Bakar Minyak (BBM) Bersubsidi. Hal ini dilakukan karena semakin tidak terbendungnya penggunaan BBM subsidi akhir-akhir ini. Kenaikan harga minyak dunia tidak diikuti dengan adanya penghematan dari masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah memulai penghematan dari mobil dinas pemerintah.

Menko Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan bahwa penghematan BBM bersubsidi harus dilakukan untuk menjada agar kupta volume pada kisaran 40 juta kiloloter. Didalam APBN-P 2012 pemerintah mematok BBM sebesar 40 juta kiloliter dengan anggaran Rp 137 triliun. Apabila tidak melakukan kebijakan penghematan atau tidak menaikan harga BBM bersubsidi maka anggaran untuk subsidi energi akan meningkat hingga Rp 300 triliun. Seperti yang terjadi pada tahun 2001 lalu, realisasi subsidi BBM telah mencapai Rp 165,2 triliun, melampaui target sebesar 129,7 triliun. Itu terjadi karena penggunaan BBM subsidi yang melebihi kuota, dari 40,4 juta kiloliter menjadi 41,8 juta kiloliter.

Pembatasan akan diberlakukan terhadap seluruh kendaraan instansi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, termasuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Untuk tahap awal kebijakan ini akan dijalankan khusus untuk wilayah Jawa dan Bali. Perlu diketahui, saat ini sudah ada lebih dari 10.000 unit kendaraan milik instansi pemerintah di Jawa dan Bali.

Sedangkan untuk mobil pribadi, pemerintah akan memberikan tenggang waktu hingga 60 hari, yang artinya kebijakan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi akan mulai berlaku 1 Juli 2012. Untuk mobil pribadi rencananya pemerintah akan membatasi penggunaan BBM berdasarkan kapasitas silinder mesing (cylinder capacity/cc). Salah satu opsi yang akan diambil pemerintah ialah pengaturan batasan besaran mesin kendaraan diatas 1.300 cc.

Pemerintah menilai pembatasan melalui ukuran silinder mesin ini lebih cepat implimentasinya dibandingkan dengan menggunakan teknologi alat deteksi BBM (radio frequency identification/RFID). Implementasi teknologi tersebut membutuhkan waktu persiapan kurang lebih selama 6 bulan, yakni 3 bulan untuk pengadaan alat dan 3 bulan untuk uji cona. Sedangkan pembatasan BBM berdasarkan kapasitas silinder mesin lebih cepat yakni hanya butuh 2 bulan saja.

Memang tak sedikit dana yang akan dikucurkan untuk mempersiapkan dan menyosialisasikan pengawasan selama 60 hari. Menurut Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas) dana yang dibutuhkan yaitu sebesar Rp 400 miliar, yang berasal dari dana program diversifikasi BBM ke bahan bakar gas yang dialokasikan sebesar Rp 964 miliar.

Sebelumnya juga ada beberapa gagasan untuk kegiatan pembatasan BBM bersubsidi ini. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Widjajono Partowidagdo, menggulirkan gagasan agar PT Pertamina memproduksi premix dengan angka oktan 90. Premix adalah produk BBM yang merupakan pencampuran premium dengan angka oktan 88 dan pertamax yang angka oktannya 90.

Namun, gagasan tersebut dinilai banyak pihak harus perlu dikaji ulang karena usulan kebijakan menyangkut pencampuran premium dan pertamax tentu harus ada payung hukumnya terlebih dahulu, yaitu Undang Undang APBN-P 2012. Selain itu, pembatasan antara kedua bahan bakar tersebut tidak hanya sekadar mencapur begitu saja, harus ada pertimbangan teknis yakni memerlukan konfigurasi kilang. Kemudian, karena harga premix diperkirakan sebesar Rp 7.250 per liter yang juga masih harga subsidi, maka hal ini akan memerlukan persetujuan dari DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Yang perlu menjadi pertimbangan adalah jika juli mendatang pemerintah benar-benar melakukan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan 1.300 cc keatas. Dikhawatirkan setelah adanya kebijakan tersebut masyarakat golongan menengah-keatas justru berlomba-lomba membeli mobil dengan cc yang lebih kecil. Yang pada akhirnya tidak ada hasil yang efektif dari kebijakan pembatasan tersebut.

Disisi lain, Bank Indonesia (BI) juga mewaspadai risiko dampak meningkatnya tekanan inflasi secara temporer dari kemungkinan adanya kebijakan yang diambil pemerintah terkait harga BBM. Jika pemerintah mengambil kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi untuk mobil pribadi di wilayah Jawa dan Bali dengan cc mesin tertentu, BI memperkirakan dampak inflasi tidak akan terlalu besar.

Dewan Gubernur BI meyakini dampak inflasi dari kebijakan harga BBM yang akan diambil pemerintah akan bersifat temporer dan tekanan inflasi fundamental dari inflasi  tetap terkendali. Setelah dampak temporer usai, maka akan kembali kepada tren fundamental. Sehingga pada 2013 nanti nilainya akan tetap dengan pertimbangan inflasi inti masih terkendali dan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia masih dibawah dari potential output.

Selain itu BI memprediksi jika pemerintah tidak melakukan kebijakan penyesuaian harga BBM, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2012 masih di kisaran 6,3 hingga 6,7 persen dengan poin pada 6,4 persen dengan inflasi akhir tahun 4,4 persen. Sedangkan jika pemerintah memilih menaikan harga BBM kemungkinan inflasi adalah 4,4 persen ditambah 2,2 persen menjadi 6,6 persen. Untuk 2013 BI yakin ekonomi makro Indonesia akan kembali kepada tren jangka menengah dimana pertumbuhan ekonomi pada kisaran 6,4 hingga 8 persen dengan arah pada sekitar 6,7 persen.

Untuk mendukung kebijakan pemerintah dalam pembatasan BBM bersubsidi ini diperlukan adanya pengawasan yang ketat dari pemerintah maupun masyarakat. Terutama di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Minyak (SPBU). Proyek percontohan yang melarang penggunaan BBM bersubsidi bagi kendaraan plat merah pada bulan depan harus dilakukan dengan baik. Sosialisasi pada masyarakat juga penting, sehingga pada penerapan kebijakan 2 bulan yang akan datang yakni pada bulan juli, semua pihak sudah mengetahui dan bisa menerapkannya. Namun apabila ada mobil dengan 1.300 cc lebih yang masih nakal memakai BBM bersubsidi hendaknya harus segera diingatkan. Karena itu melanggar kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam rangka pembatasan BBM bersubsidi.










DAFTAR PUSTAKA :
Koran Bisnis Indonesia, edisi Selasa, 17 April 2012.
Wijayanto, Nanang. “Mobil Dinas Dilarang Pakai Premium,” Seputar Indonesia, 17 April 2012, halaman 16.
Timothy, Andreas. “Pembatasan BBM Diundur 60 Hari,” Media Indonesia, 17 April 2012, halaman 2.

Jumaat, 13 April 2012

Lambannya Perkembangan Infrastruktur Indonesia


Toni Prasetyo Utomo

Gambar  : hpjijakarta.com
Jika melihat pertumbuhan ekonomi saat ini yang mencapai 6,5 persen pada 2011, sudah seharusnya didukung oleh infrastruktur yang baik guna mempercepatan penyebaran ekonomi yang merata diseluruh Indonesia. Memang infrastruktur sudah lama menjadi salah satu masalah utama bagi Indonesia. Minimnya pendanaan yang dialokasikan untuk program ini merupakan salah satu penghambatnya.

Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 dan status layak investasi yang belakangan disandang oleh Indonesia seharusnya bisa menjadi stimulus untuk mengundang investor untuk berinvestasi, terutama di bidang infrastruktur. Infrastruktur penting karena erat kaitannya dengan daya saing produk Indonesia.
Saat ini peringkat daya saing Indonesia memiliki peringkat yang masih bisa dikatakan baik, yaitu peringkat 44. Namun yang disayangnyan peringkat untuk infrastrukturnya, Indonesia masih berada jauh dibawah pada peringkat 82. Rasanya hal ini tak berlebihan apabila melihat kondisi infrastruktur yang ada di daerah, khususnya jalan dan jembatan.
Terjadinya beberapa insiden ataupun bencana infrastruktur dibeberapa daerah mulai dari runtuhnya Jembatan Kutai Kertanegara (Kukar), banyaknya jalan-jalan yang bolong antar daerah, jumlah pelabuhan yang masih minim, menunjukan betapa buruknya manajemen pengelolaan infrastruktur pemerintah negeri ini. Tersedianya fasilitas dan sarana-prasarana yang merata di seluruh wilayah akan mempercepat terciptanya keseimbangan pemerataan pembanguan di daerah.
Dengan adanya keterbatasan infrastruktur tersebut akan menyebabkan terjadinya gangguan dalam distribusi barang dan jasa dari pihak produsen ke pihak konsumen di daerah-daerah. Dampaknya implikasi ongkos yang dikeluarkan perusahaan menjadi lebih mahal. Perusahaan di Indonesia mengeluarkan biaya transportasi sekitar 30 persen dari total biaya produksi, coba kita bandingkan dengan negara kompetitor. Misalnya, China hanya mengeluarkan sekitar 12 persen dari total biaya produksinya.
Didik J. Rachbini yang saat ini sebagai Ketua Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Kamar Dagan dan Industri Indonesia mencacat bahwa realisasi belanja infrastruktur 2011 masih belum maksimal. Hingga akhir 2011, belanja ingrastruktur pemerintah Cuma Rp 32,7 triliun atau 2 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara.
Bahkan akhir-akhir ini Bank Pembanguna Asia (Asian Development Bank/ADB) menilai pemerintah Indonesia saat ini terlalu irit dalam mengalokasikan anggarannya untuk infrastruktur dibandingkan dengan zaman Orde Baru. Anggaran infrastruktur saat ini masih kurang dari 4-5 persen dari PDB Indonesia.
Namun, dengan batalnya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) per 1 April kemarin mendatangkan sedikit masalah tersendiri bagi pemerintah. Kalaupun BBM bakal naik pada tanggal tersebut maka dana untuk pengembangan infrastruktur akan meningkat. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Harga BBM batal naik, yang kemudian terjadi adalah pemerintah harus memperketat pengeluarannya agar anggaran fiskal tetap sehat.
Indonesia pada tahun ini akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Asia Pacific Ministerial Conference on Sustainable and Inclusive Infrastucture Development 2012 (APMC-SIID`12). Kegiatan ini akan bersamaan dengan Indonesia International Infrastucture Conference and Exhibition 2012 (IICE`12) di Jakarta Convention Center dari 2-5 Mei 2012.
Seharusnya konferensi tersebut bisa digunakan secara maksimal oleh pemerintah Indonesia untuk memperkenalkan peluang investasi penting yang ada kepada sektor bisnis, para ahli dan pemerintah dari berbagai negara di kawasan Asia Pasifik.
Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Suryo Bambang Sulisto, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur di Indonesia senilai Rp. 1.786 triliun. Rinciannya, Rp 681 triliun untuk listrik dan energi, Rp 339 triliun untuk jalan raya, Rp 326 triliun untuk rel kereta api, serta Rp 242 triliun untuk teknologi informasi dan komunikasi.
Sedangkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan nasional (Bappenas), tahun ini pemerintah Indonesia menyiapkan dana sebesar Rp 204,7 triliun (US $ 22,3 miliar) dalam program pembangunan infrastruktur. Nilai ini sejalan dengan target untuk mengalokasikan minimal 3 % dari total Gross Domestic Product (GDP).
Yang sedikit membahagiakan adalah hari ini (12/04/2012), Indonesia terpili menjadi negara favorit untuk berinvestasi. Kesimpulan ini berdasarkan hasil survey yang dilakukan Dewan Penasehat Bisnis ASEAN (ASEAN Business Advisory Council/ABAC). Diikuti oleh Vietnam yang menduduki posisi kedua, kemudian Singapura, Malaysia, dan Thailand.
Survei ABAC ini juga mengukur tingkat ketertarikan investasi suatu negara dalam skala 0-10. Indonesia juga meraih nilai tertinggi yaitu 6,68. Diikuti oleh Vietnam yang mendapat nilai 6,29. Sementara singapura mendapat nilai 6,07. Kemudian Thailand dan Malaysia yang masing-masing mendapat nilai 6,04 dan 5,69.
Untuk itulah sudah menjadi tanggung jawab kita bersama untuk terus membangun infrastruktur guna menjalankan roda perekonomian yang ada. Hal ini tentu membutuhkan peranan pemerintah sekaligus swasta. Selain itu pemerintah diharapkan mempu memperkuat peranannya dalam hal kepastian usaha, jaminan, tanah dan perizinan. Semua itu harus cepat diselesaikan agar iklim investasi menjadi lebih baik kedepannya.

  


DAFTAR PUSTAKA :



Isnin, 9 April 2012

Ritel Asing Mengancam Pasar Tradisional



http://toniprasetyo.blogspot.com
Dalam beberapa dasawarsa terakhir, perekonomian dunia telah semakin terkait, melalui perdagangan internasional yang meluas dalam jasa maupun barang primer dan barang manufaktur, melalui investasi fortofolio seperti pinjaman internasional dan pembelian saham, melalui investasi langsung, khususnya dalam perusahaan multinasional besar. Indonesia dengan jumlah penduduk yang lebih dari 250 juta, ditambah kunjungan wisatawan manca negara sekitar 5 juta per tahun merupakan suatu pasar yang potensial. Dominasi asing tampaknya semakin tak terbendung dalam perekonomian nasional. Selain menguasai hampir semua sektor ekonomi strategis (keuangan, perbankan, energi, pangan dan lain-lain), asing juga menguasau pasar perdagangan lokal. Fakta menunjukan, perkembangan pangsa pasar ritel modern yang mayoritas dimiliki asing meningkat signifikan setiap tahun.

Bagai buah simalakama, di satu sisi, masuknya peritel asing itu akan berdampak positif terhadap perekonomian nasional. Disisi lain, hal tersebut sangat berpotensi mematikan pasar tradisional. Dampak negatif pertumbuhan ritel modern yang tumbuh semakin pesat belakangan ini, khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, mulai dirasakan banyak pedagang tradisional. Hasil diskusi diantara pengamat ritel Indonesia Koestarjono Prodjolalito dan sejumlah pedagang alat-alat listrik tradisional menunjukkan, banyaknya macam/merek barang yang ditawarkan hypermarket, termasuk alat-alat listrik mengancam usaha mereka. Dia berpendapat, kelangsungan usaha pasar tradisional sekarang tidak mencerminkan daya saing yang sesungguhnya di tengah pesatnya pembangunan pusat perdagangan atau pasar ritel modern (BI, 2003). Survei juga menunjukkan, pasarmodern di Indonesia tumbuh 31,4 persen per tahun, sedangkan pasar tradisional malah menurun 8 persen setiap tahun. Bila hal itu dibiarkan terus-menerus, bukan tidak mungkin pasar tradisional hanya menyisakan nama.

Menjamurnya jaringan pasar modern yang bergerak di bidang bisnis ritel, seperti hipermarket, supermarket, minimarket, dikhawatirkan akan menjadi ancaman serius keberadaan pasar tradisional. Kehadiran pasar modern, dengan sistem waralaba (franchise) yang sudah merambah hingga perkampungan, sangat berpotensi meminggirkan keberadaan pasar tradisional, bahkan tidak mustahil bila saatnya akan memusnahkan eksistensi pasar tradisional.

Proses peminggiran dan pemusnagan terhadap pasar tradisional sesungguhnya telah berlangsung secara sistematis dan berkelanjutan yang dilakukan dengan sangat kompak oleh koalisi strategis antara pemilik modal dan oknum birokrasi. Sedikitnya ada dua modus operandi yang selama ini telah digunakan oleh koalisi strategis itu dalam melakukan upaya peminggiran dan pemusnahan terhadap pasar tradisional.

Modus pertama, “pengambilalihan” secara paksa sejumlah pasar tradisional untuk digantikan dengan pasar modern, seperti hipermarket dan supermarket. Dalam pengambilan paksa tersebut pedagang pasar tradisional tidak bisa berkutik sama sekali menghadapi tekanan dari pihak koalisi strategis, sehingga mereka harus rela terpinggirkan.

Modus operandi kedua adalah “pengepungan” terhadap pasar tradisional dengan pendirian mall, supermarket, dan mini market waralaba disekeliling pasar tradisional. Akibat pengepungan tersebut, jumlah pengunjung pasar tradisional semakin menurun secara drastis, lantaran berpindah belanja ke pasar modern.

Pasar modern juga menawaekan berbagai keunggulan bersaing yang tidak dimiliki oleh pasar tradisional. Selain menawarkan konsep one stop shopping dan kenyamanan dalam berbelanja, yang didukung keunggulan teknologi dan manajemen, pasar modern juga menggunakan instrumen harga dalam bersaing (competing on price). Harga berbagai produk yang dijual di pasar modern justru lebih lebih murah dibanding harga jual produk yang sama yang dijual di pasar tradisional. Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki oleh pasar modern tersebut, sepertinya mustahil bagi pedagang pasar tradisional untuk bisa bertahan menghadapi gempuran persaingan yang tidak seimbang. Bak petinju kelas berat versus petinju kelas bulu.

Pasar tradisional merupakan pasar yang memiliki keunggulan bersaing alamiah yang tidak dimiliki langsung oleh pasar modern. Lokasi yang strategis, area penjualan yang luas, keragaman barang yang lengkap, harga yang rendah, sistem tawar-menawar yang menunjukan sikap keakraban antara penjual dan pembeli merupakan keunggulan tersendiri yang dimiliki pasar tradisional. Sisi kekeluargaan antara pembeli dan penjual menjadi satu pemandangan yang indah kala berada di pasar dan bahkan ada juga yang namanya langganan dan itu bisa menjadi hubungan yang tidak bisa terpisahkan bagaikan persaudaraan yang sudah sangat dekat sekali. Selain itu, pasar tradisional juga merupakan salah satu pendongkrak perekonomian kalangan menengah ke bawah, dan itu jelas memberikan efek yang baik bagi negara.

Dibalik kelebihan yang dimiliki pasar tradisional ternyata tidak didukung oleh pihak pemerintah, salah satunya terlihat pemerintah lebih membanggakan adanya pasar modern dari pada pasar tradisional, yang itu dilakukan dengan cara “mengusir” satu per satu pasar tradisional dengan cara dipindahkan dari tempat yang layak ke tempat yang jauh dan kurang refresentatif. Pasar tradisional sendiri juga memiliki berbagai kelemahan yang telah menjadi karakter dasar yang sangat sulit diubah. Faktor desain dan tampilan pasar, atmosfir, tata ruang, tata letak, keberagaman dan kualotas barang, promosi penjualan, jam operasional pasar yang terbatas, serta optimalisasi pemanfaatan ruang jual merupakan kelemahan terbesar pasar tradisional dalam menghadapi persaingan dengan pasar modern.

Kondisi ini diperburuk dengan citra pasar tradisional yang dihancurkan oleh segelintir oknum pelaku dan pedagang di pasar. Maraknya informasi produk barang yang menggunakan zat kimia berbahaya serta relatif mudah diperoleh di pasar tradisional, praktek penjualan daging oplosan, serta kecurangan-kecurangan lain dalam aktifitas penjualan dan perdagangan telah meruntuhkan kepercayaan konsumen terhadap pasar tradisional.

Beberapa pasar tradisional yang "legendaris" antara lain adalah pasar Beringharjo di Jogja, pasar Klewer di Solo, pasar Johar di Semarang, dan Pasar Tanah Abang di Jakarta. Pasar tradisional di seluruh Indonesia terus mencoba bertahan menghadapi serangan dari pasar modern. Akan tetapu, pasar yang berada di daerah pedesaan cenderung sudah tergilas dan termakan oleh waktu. Banyak pasar tradisional kecil yang sudah hilang karena tidak mampu bertahan karena dominasi pasar modern yang kian kuat dan berkembang pesat.

Kelebihan pasar Modern dibanding pasar tradisional cukup jelas, mereka memiliki banyak keunggulan yakni nyaman, bersih serta terjamin. Yang itu membuat para konsumen mau membeli ke pasar modern. AC, bersih, kenyamanan dan mempunyai gengsi yang tinggi menjadi andalan dari pasar modern, dan hal itu tidak dimiliki oleh pasar tradisional. Bahkan kalau kita melihat tidak ada kelemahan dari pasar modern ini. Dengan modal yang cukup besar mereka bisa melakukan apa saja untuk makin mempercantik penampilannya.

Hendri Ma`ruf (2005) dalam bukunya yang berjudul Pemasaran Ritel: Konsep yang muncul berikutnya dalam industri ritel adalah one stop shopping, yaitu suatu tempat berbelanja yang memenuhi semua kebutuhan individu dan keluarga. Seiring dengan ini adalah muncul suatu model yang berkembang, yaitu chainstore. Chainstore adalah bersatunya beberapa gerai yang beroperasi di wilayah-wilayah yang berbeda dalam pengelolaan manajemen. Karena bersatu dalam satu tangan manajemen, gerai-gerai itu serupa dalam hal tampilan (luar dan dalam), barang-barang yang dijual, dan dalam hal sistem operasionalnya.

Pasar Modern sebenarnya adalah usaha dengan tingkat keuntungan yang tidak terlalu tinggi, berkisar 7-15% dari omset. Namun bisnis ini memiliki tingkat likuiditas yang tinggi, karena penjualan ke konsumen dilakukan secara tunai, sementara pembayaran ke pemasok umumnya dapat dilakukan secara bertahap. Seperti ritel modern lainnya, Pasar Modern umumnya memiliki posisi tawar yang relatif kuat terhadap pemasok-pemasoknya. Ini karena peritel modern, umumnya adalah perusahaan dengan skala yang cukup besar dan saluran distribusi yang luas, sehingga pembelian barang ke pemasok dapat dilakukan dalam jumlah yang besar. Posisi tawar yang kuat memberi banyak keuntungan bagi peritel modern. Selain bisa mendapatkan kemudahan dalam hal jangka waktu pelunasan barang, diskon harga juga akan semakin mudah diperoleh dengan posisi tawar yang kuat tersebut. (Marina L. Pandin, 2009)

Jika dikelola dengan baik, pasar tradisional pastinya akan mampu menjadi sumber pendapatan yang signifikan bagi pemerintah daerah/kabupaten/kota. Agus Sulaiman (dalam http://ekonomi. kompasiana.com/, 2011) menyebutkan bahwa dengan pendapatan yang tinggi  tentunya akan memberikan multiplier effect ke sendi-sendi kehidupan yang lain. Dan tanpa adanya kepedulian pemerintah daerah/kabupaten/kota pasar tradisional akan berkebang sekehendak hatinya. Pasar menjadi semrawut dan tak terkontrol. Tentunya kesemrawutan ini juga akan menyumbang multiplier effect (dalam konteks negative tentunya) dalam sendi kehidupan yang lainnya. Jalanan menjadi macet akan menyumbangkan naiknya biaya transportasi, pasar yang kumuh akan menyumbangkan maraknya berbagai macam penyakit serta akan ditinggalkan konsumennya. Pada titik yang paling ekstreem pembiaran ini akan membunuh keberadaan pasar tradisional itu sendiri, bukan hal yang mustahil pasar tradisional hanya tinggal sejarah. Yang lebih mengkhawatirkan lagi akan meningkatnya jumlah pengangguran.

Keberadaan pasar modern di Indonesia akan berkembang dari tahun ke tahun. Perkembangan yang pesat ini bisa jadi akan terus menekan keberadaan pasar tradisional pada titik terendah dalam 20 tahun mendatang. Pasar modern yang notabene dimiliki oleh peritel asing dan konglomerat lokal akan menggantikan peran pasar tradisional yang mayoritas dimiliki oleh masyarakat kecil dan sebelumnya menguasai bisnis ritel di Indonesia.

Jika dibandingkan lebih lanjut dengan ritel asing (pasar modern) Berdasar data Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2010, jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 13.450 pasar dengan jumlah pedagang sekitar 12.625.000 orang. Jika dibanding pasar-pasar modern yang dikuasai ritel asing dengan jumlah tenaga kerja lebih sedikit, sesungguhnya pasar tradisional sangat berpotensi untuk menggerakkan perekonomian daerah serta menyerap tenaga kerja.

Merujuk data ekonomi nasional dalam lima tahun belakangan ini, industri ritel memiliki kontribusi terbesar kedua terhadap GDP setelah industri pengolahan. Bahkan, dalam penyerapan tenaga kerja, industri ritel berada di posisi kedua setelah sektor pertanian. Karena itu, industri ritel dapat dikatakan sebagai industri yang menguasai hajat hidup orang banyak. Alasannya, hampir 10 persen penduduk Indonesia menggantungkan hidupnya dengan berdagang.

Apalagi, menurut data Kemenakertrans 2011, angkatan kerja masih didominasi tenaga kerja berpendidikan SD ke bawah. Jumlah pekerja dengan tingkat pendidikan SD ke bawah mencapai 54,2 juta orang atau 49,90 persen. Kebanyakan angkatan kerja tersebut hanya mampu ditampung industri ritel selain sektor pertanian, khususnya pasar tradisional. Sayangnya, realita yang berkembang menunjukkan, pasar tradisional seakan “mati suri”, kalah bersaing dengan ritel asing. Akibatnya, berdasar hasil pengamatan di lapangan, banyak pasar tradisional di daerah yang gulung tikar.

Selain itu APPSI melaporkan, omzet pasar tradisional di DKI Jakarta merosot hingga 60 persen setelah kehadiran ritel asing, khususnya hypermarket. Imbasnya, tingkat hunian pasar tradisional tersebut sangat strategis. Kondisi yang tak jauh berbeda terjadi di Kota Malang yang terkenal sebagai sentral pasar tradisional di Jawa Timur. Dikabarkan, omzet pasar tradisional di sana merosot hingga 30 persen.

Pada 2005, omzet ritel modern tercatat Rp 42 triliun, kemudian meningkat lagi pada 2006 menjadi Rp 50,8 triliun dan pada 2008 meningkat menjadi Rp 58,5 triliun. Yang terbaru, pada 2012, bakal ada 3 ritel asing yang berekspansi ke Indonesia. Yakni, Family Mart dan Lawson. Keduanya merupakan peritel raksasa dari Korea Selatan dan Jepang. Satu lainnya membuka hypermarket atau sekelas grosir, yakni Metro AG yang berpusat di Jerman.

Pada umumnya, di negara-negara Dunia Ketiga terdapat sejumlah faktor yang tidak memungkinkan mereka untuk terlalu mengandalkan mekanisme pasar dalam rangka mengembangkan diri seperti yang dilakukan oleh negara-negara yang tergolong sebagai industri maju selama tahap-tahap awal pembangunannya. Mungkin alasan yang paling penting adalah bahwa pasar-pasar dikebanyakan negara-negara berkembang diliputi ketidaksempurnaan (Arndt dalam Todaro, 2006)

Salah satu ketidaksempurnaan itu adalah kurang informasi dan besarnya ketidakpastian yang dihadapi oleh para produsen dan konsumen. Oleh karena itu, dibanyak negara-negara berkembang, produsen sering kali merasa tidak pasti mengenai ukuran pasar setempat, mengenai keberadaan produsen lainnya, dan mengenai keberadaan input (faktor-faktor produksi), baik yang dari dalam negeri maupun impor.

Sebenarnya, akar permasalahan industri ritel di Indonesia adalah market power ritel asing yang sangat kuat dan tinggi. Karena itu, terjadi ketidakseimbangan dalam bersaing antara ritel asing dan pasar tradisional/ritel kecil. Konsekuensinya, bergaining position (posisi tawar) pasar tradisional sangat rendah di mata konsumen dan publik.

Melihat secara kritis market power yang merupakan “akar masalah”. Seperti yang dibicarakan diatas semakin tersingkirnya pasar tradisional disebabkan oleh beberapa faktor. Yaitu, pertama, masih buruknya infrastruktur kelembagaan pasar tradisional. Pada umumnya, pengembangan kelembagaan pasar tradisional masih dikelola secara tradisional dan bersifat seadanya saja sehingga kurang profesional.

Kedua, masih belum adanya payung hukum berupa peraturan perundangan-undangan yang memberikan sanksi tegas dan keras terhadap pelanggar regulasi industri ritel. Meskipun pemerintah telah menerbitkan Perpres Nomor 112 Tahun2007 tentang penataan dan pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan serta Permendag Nomor 53 Tahun 2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pasar Modern dan Pusat Perbelanjaan untuk mengatur regulasi industri ritel nasional, dalam implementasinya, bahwa setiap usaha toko modern harus dapat Izin Usaha Toko Modern (IUTM), bukan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) lagi. 

 Bahkan,  lebih parahnya, masih ada bebeerapa daerah yang tidak mengetahui adanya dua peraturan tersebut dalam industri ritel. Alasan utama ketidakefektifan dua peraturan perundangan dalam pengaturan zonasi maupun pembatasan lainnya, umumnya, disebabkan belum jelasnya sanksi dan penegak hukum bagi pelanggarnya. Dalam peraturan itu, pembukaan atau permintaan izin pembukaan toko ritel modern baru harus memperhatikan beberapa hal. Di antaranya jarak dan lokasi di mana sebelumnya sudah ada pasar tradisonal yang berdiri. Selain itu ritel modern juga harus membuat rencana kemitraan dengan usaha mikro dan kecil di areal lokasi tersebut.

Meski banyak aturan yang kini semakin mempersempit ruang gerak peritel modern, di lapangan tak menyurutkan niat mereka untuk terus berekspansi. Indomaret misalnya, salah satu dari dua penguasa pasar minimarket di Indonesia tersebut kini justru berancang-ancang menambah jumlah outletnya hingga mencapai 600 gerai baru di seluruh Indonesia. Pertumbuhan fenomenal ritel modern, salah satunya diakibatkan gencarnya penetrasi ritel asing ke Indonesia. Data BisInfocus 2008 menyebutkan, jika pada 1970-1990 pemegang merek ritel asing yang masuk ke Indonesia hanya lima, dengan jumlah 275 gerai, tahun 2004 sudah 14 merek ritel asing yang masuk, dengan 500 gerai. Tahun 2008, merek ritel asing yang masuk sudah 18, dengan 532 gerai (http://indocashregister.com, 2011).

Beberapa negara yang sukses melakukan best practices dalam pengelolaan dan pengaturan industri ritel melalui pembuatan UU ritel, antara lain, Jepang yang mengeluarkan pedoman mengenai unfair trade yang berisi code of conduct masing-masing pelaku, baik peritel maupun pemasok, serta Korea yang mempunyai regulasi berupa Korean Monopoly Regulation and Fair Trade Act, khususnya pada article 36 (1) dan (2), yang bertujuan mengidentifikasi kriteria peritel besar yang melakukan praktik perdangangan tidak adil dengan mengambil keuntungan dari bargaining position-nya. Yang kuat terhadap peritel lainnya.

Ketiga, lemahnya political will pemerintah daerah. Hal itu tampak dari rendahnya dukungan serta keberpihakan pemerintah daerah dalam pembangunan fisik pasar tradisional di daerah sangat memprihatinkan, kumuh, sempit, becek, bau tak sedap, serta banyak bangkai tikus, asap pembakaran, sampah dan lain-lain. Pembangunan fisik pasar baru dilakukan oleh pemerintah jika pasar tersebut sudah benar-benar ambruk termakan waktu atau sesudah terjadi kebakaran pasar saja.

Tak salah, menurut keterangan Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia (Asparindo), pada 2010 masih terdapat sekitar 9000 pasar yang bangunannya sudah tua dan lebih dari 20 tahun tida tersentuh renovasi.  Sebanyak 70 persen dari 13.000 bangunan pasar di Indonesia sudah berumur lebih dari 20 tahun. Malahan, ada yang 30 tahun dan tak kunjng ada perbaikan. Selain itu, lemahnya “political will” pemerintah daerah yang begitu longgar dan leluasa dalam memberikan izin berdirinya ritel-ritel baru turut mempercepat menjamnurnya ritel modern di daerah.(dalam Agus Suman, 2011).

Untuk menghindari semakin tersisihnya pasar tradisional dalam era persaingan perdagangan bebas saat ini, pemerintah harus segera melakukan upaya-upaya cerdas dan strategis untuk melindungi pasar tradisional. Setidaknya ada 3 upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam mencegah proses kepunahan pasar tradisional akibat gempuran ritel asing (pasar modern).

Pertama, intervensi pemerintah melalui regulasi yang memberikan pembatasan wilayah bagi beroperasinya pasar modern, terutama ritel asing yang merupakan jaringan besar dengan sistem waralaba. Selain itu, perlu diatur jarak/zonasi dalam radius tertentu bagi pendirian dan pengoperasian pasar modern, misalnya, zonasi kawasan, zonasi jarak, dan zonasi rasio penduduk. Regulasi tersebut harus benar-benar ditegaskan secara konsisten dengan pengawasan yang ketat agar bisa dilaksanakan dalam rangka melindungi pedagang pasar tradisional dari persaingan tidak seimang dengan pasar modern.

Kedua, pemerintah harus berupaya untuk menata ulang pasar tradisional, baik untuk memperbaiki penampilan yang lebih baik, maupun untuk menciptakan kenyamanan dalam berbelanja di pasar tradisional. Dalam penataan ulang ini, jangan sampai terjadi adanya penggusuran bagi pedagang yang selama ini sudah menempati pasar tradisional selama bertahun-tahun. Untuk itu, pemerintah harus memberikan bantuan dan jaminan bagi pedagang kecil sehingga masih bisa menempati tempat berjualan mereka setelah pasar tradisional direnovasi.

Ketiga, pemerintah harus berupaya menjabatani bagi pedagang pasar tradisional untuk bisa menjadi pemasok bagi pasar modern. Memang, ada beberapa jaringan pasar modern yang memberikan kesempatan bagi pedagang kecil untuk menjadi mitra usaha pasar modern sebagai pemasok. Namun, dalam prakteknya bukanlah hal yang mudah bagi pedagang kecil untuk bisa memenuhi persyaratan “njlimet” yang ditetapkan jaringan pasar modern untuk dapat menjadi mitra usaha.  Misalnya, yang dilakukan pemerintah Thailand untuk memberdayakan usaha kecil ritel dengan mendirikan perusahaan negara atau BUMN nonprofit Allied Retail Trade Co (ART Co) dengan modal kerja sekitar USD 9,1 juta. Perusahaan tersebut bertugas membeli barang dari pabrikan dan kemudian disalurkan ke jaringan toko-toko kecil dan warung tradisional lainnya.(Agus Suman, 2011).

Terlepas dari berbagai solusi tersebut, Tidak mustahil, keberadaan pasar tradisional akan mengalami kepunahan. hal utama yang paling dibutuhkan adalah komitmen keberpihakan kepada pedagang pasar tradisional yang disertai niat dan langkah serius pemerintah untuk benar benar bisa mempertahankan keberadaan pasar tradisional dari serbuan ritel asing.







Daftar Pustaka
Akadsolo, “Pasar Tradisional vs Pasar Modern.” http://titik.dagdigdug.com/?p=26. 1 April 2009
Kuncoro, Mudrajad. Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP) STIMYKPN d/h AMP YKPN, 2006.
Ma`aruf, Hendri. Pemasaran Ritel. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Mesinkasir.“Pertumbuhan Ritel  Modern di Surabaya sudah Meresahkan (Over Capacity).” http://indocashregister.com. 23 Januari 2011.
Pandin, Marina L. “Potret Bisnis Ritel di Indonesia : Pasar Modern.” http://www.bni.co.id/ Portals/0/Document/Ulasan%20Ekonomi/Pasar%20Modern.pdf. Maret 2009
Radhi, Fahmy, Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat. Jakarta: Republika, 2008.
Sulaiman, Agus. “Meningkatkan Daya Saing Pasar Tradisional.” http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis /2011/11/15/meningkatkan-daya-saing-pasar-tradisional/. 15 November 2011.
Suman, Agus. Ritel Asing v Pasar Tradisional. Jawa Pos kolom Opini, Jumat 16 Desember 2011.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi, Edisi Kesembilan, Jilid 2.  Jakarta: Erlangga. 2006.






Ahad, 8 April 2012

Sujiwo Tejo - Ngawur Karena Benar


Judul Buku :

Penulis :
Sujiwo Tejo

Penerbit :
Imania, Depok

Cetakan :
I, Februari 2012

Tebal Buku :
248 Halaman


"Orang-orang KPK kebanyakan dari latar kuliah hukum. tidak ada yang dari universitas pertanian. Peternakan juga nggak ada. Kita kasih saja pelatihan ternak kroto untuk orang-orang KPK. Nanti setiap koruptor yang dipanggil dikasih konsumsi kroto, Nanti pasti akan ngoceh terus."

"KPK itu malih Komisi Peternakan Kroto?" Petruk-Gareng bertanya tapi terus terpana serta manggut-manggut.

Bisa ditebak, bahwa sajian istimewa kisah satire tersebut menyinggung KPK yang akhir-akhir ini kurang bisa menampakan hasil kerjanya. Banyak koruptor yang dipanggil namun sangat sulit untuk dijerat hukuman karena mereka tak mau mengaku, bahkan lupa bahwa mereka sudah melakukan kejahatan korupsi tersebut.

Demikianlah Sujiwo Tejo menceritakan dalam tajuk Komisi Peternakan Kroto, yang termuat dalam buku Ngawur karena Benar yang merupakan kumpulan-kumpulan tulisannya. Seluruhnya ada 37 tulisan yang pernah termuat dalam beberapa media massa sepanjang 2010-2011.

Mbah Sujiwo Tejo menggambarkan peristiwa-peristiwa yang sedang hangat terjadi dengan menambahkan tokoh-tokoh dalam pewayangan, seperti tokoh panakawan Gareng, Petruk, Bagong, dan Limbuk. Kemudian diadaptasikan menjadi cerita yang menarik dan benar-benar ngawur tentunya.

Sujiwo Tedjo juga merupakan Presiden Jancukers dari Republik Jancukers, sebuah gerakan di dunia maya yang mengusung kejujuran, dan menolak bersantun-santun ria kalau bukan itu yang ada di dalam hati. Melalui buku ini, dia mengatakan bahwa “Berani karena benar” sudah tidak spesial lagi. Sekarang yang spesial adalah “ngawur karena benar”.

Munculnya ngawurisme ini bermula dari palsunya kedok tertata, sopan dan bertata krama. Penyaluran ngawurisme ada dalam koridor The Jancuk Way. Dengan berbahan bakar urakan. Urakan berbeda dari kurang ajar. Urakan melanggar aturan termasuk aturan berpikir demi mengikuti hati nurani. Kurang ajar melanggar aturan hanya demi melanggar.

“tulisan yang mengalir dan terasa kengawurannya dengan nyata. Mengacak-ngacak pikiran ke arah yang benar”. -- Tina Talisa (Presenter Berita, Presenter Berita, Moderator, Trainer).

“Normalnya melihat kengawuran itu menyebalkan. Namun, saat yang disebut normal itu justru merusak akal sehat, lalu kita mau apa? Di sinilah mengapa seorang Sujiwwo Tejo ada. Ia berani ngawur, menabrak batas normal yang sering penuh kepalsuan.” -- Rosianna Silalahi, (TV Host, Praktisi Media, Pendiri RoSi inc).

Selamat menikmati hidangan martabak spesial, tepatnya martabak dari kengawuran yang berfondasi kebenaran. Kawan-kawan yang mau berbincang langsung dengan Presiden Republik Jancukers ini bisa langsung ditempat tinggal beliau yakni, di www.sujiwotejo.com atau di twitter @sudjiwotedjo.

Wahai jiwa yang hangat, selamat datang di alam ngawur. Selamat membuang-buang waktu untuk hal yang mengandung ngawur, matur nuwun.








Sabtu, 7 April 2012

Subsidi Membengkak Harga BBM pun Dipaksa Naik



Wacana pembahasan pemerintah untuk menaikan harga Bahan Bakar Minyak Subsidi (BBM Subsidi) sudah mulai hangat di perbincangkan di berbagai tempat. Yang menjadi alasan utama adalah meningkatnya harga rata-rata minyak di dunia. Harga minyak Indonesia (ICP) Februari lalu telah mencapai USD 121,75 per barel, naik dari angkannya di januari yang mencapai USD 115,91. Angka tersebut sangat jauh dari asumsi makro APBN 2012, dimana ICP hanya diperkirakan sebesar USD 90 per barel.

Sebelumnya pemerintah berupaya untuk mengalihkan konsumsi BBM bersubsidi ke non-subsidi. Mobil pelat hitam tak boleh seenaknya menggunakan premium dan solar. Juga melakukan penghematan konsumsi BBM yang dari tahun ke tahun yang mengalami kenaikan sebesar 6-7 persen. Konversi BBM bersubsidi ke bahan bakar gas (BBG) jenis compressed natural gas (CNG) dan liquefied gas for vehicle (LGV) atau Vi-Gas.

Namun konversi BBM ke gas tersebut ternyata menemui banyak kendala dan pemerintah pun belum siap menjalankan konversi BBM ke gas. Hal ini diungkapkan langsung oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Jero Wacik. “Program konversi BBM ke BBG ribet, itu menjadi tak efesien. Apalagi konversi bukan satu-satunya cara buat mengerem konsumsi emas hitam. Banyak opsi. Salah satunya, adalah menaikkan harga BBM premium”(Metrotvnews.com, 19/01/2012).

Oleh sebab itu, pemerintah harus mengajukan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN-P) 2012. Sebab, APBN 2012 tidak memperkenankan kenaikan BBM. Dalam APBN-P 2012 direncanakan kenaikan harga BBM bersubsidi sebagai langkah penyelamatan anggaran dan penyesuaian harga minyak dunia. Selain itu pemerintah juga tengah menyiapkan kompensasi bagi masyarakat menengah kebawah (miskin) untuk mengurangi dampak dari adanya kenaikan harga BBM. Beberapa opsi tersebut seperti program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kini dinamai program BantuanLangsung Sementara Masyarakat (BLSM). Program BLSM ini juga akan dikombinasikan dengan perluasan program penanggulangan kemiskinan pemerintah, seperti beras miskin (raskin) dan beasiswa miskin.

Pemerintah telah menyerahkan dua pilihan kenaikan harga premium dan solar kepada Komisi VII DPR untuk dibahas dan ditetapkan pilihan mana yang akan diambil sebagai sebuah kebijakan yang tepat. Pertama, subsidi BBM dicabut dengan menaikan harga Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 untuk solar dan premium. Keuntungannya adalah dengan pengurangan beban subsidi BBM lebih signifikan saat rata-rata ICP rendah, risiko kenaikan subsidi berasal dari kenaikan harga ICP dan penambahan volume BBM. Sedangkan kelemahannya yakni hanya signifikan jangka pendek dan saat ICP sangat rendah, perlu penyesuaian penurunan harga BBM.

Kedua, subsidi premium dan solar maksimum Rp 2.000 per liter. Keuntungannya adalah pengurangan beban subsidi BBM lebih signifikan saat harga ICP tinggi, beban subsidi akan terkendali dari gejolak harga ICP, sehingga risiko kenaikan subsidi hanya dari penambahan volume BBM, bermanfaat jangka panjang dan memberikan edukasi kepada masyarakat dalam menghemat konsumsi BBM. Kelemahannya, harga BBM berubah-ubah sesuai fluktuasi ICP (bisnis.com 28/02/2012).

Kenaikan harga BBM hampir menjadi masalah diseluruh negara. Indonesia tidak sendirian dalam upaya untuk menghapus subsidi BBM. Tengok saja Nigeria, pada 3 Januari 2012 Nigeria dilanda aksi demonstrasi yang melibatkan lebih daripada 10.000 orang untuk memprotes penghapusan subsidi BBM sejak awal 2012. Penghapusan subsidi BBM itu mengakibatkan harga BBM terbang tinggi lebih daripada dua kali harga semula 65 naira (sekitar Rp 4.050 per liter) menjadi 150 naira (sekitar Rp8.460).

Di Indonesia, sejarah telah mencatat bahwa negara ini sudah mengalami empat kali perubahan harga BBM bersubsidi pada 2008, yakni Rp 4.500 pada Januari – April, Rp 6.000 pada Mei – November, Rp 5.500 pada 1–15 Desember, dan Rp 5.000 pada 16–31 Desember. Selanjutnya pada 2009, terjadi dua kali perubahan harga BBM. Pada 1 Januari sebesar Rp 5.000 per liter, lalu pada 15 Januari sebesar Rp 4500 per liter dan harga ini tetap hingga saat ini 2012 (bisnis.com 28/02/2012).

Badan Pusat Statistik (BPS) juga sudah melakukan simulasi kenaikan harga BBM. Dengan kenaikan sebesar Rp 500 per liter, akan menyebabkan inflasi langsung 0,31 persen dan inflasi tidak langsung sebesar 1–2 kali dari inflasi langsung. “Jika harga BBM dinaikkan Rp 1.500 menjadi Rp 6.000 per liter akan menyebabkan inflasi langsung sebesar 0,93 persen dan inflasi tidak langsung sekitar 1 hingga 2 kali dari inflasi langsung. Inflasi tidak langsung itu berupa kenaikan tarif transportasi umum” ungkap Kepala BPS, Suryamin di Jakarta, 1 Maret 2012.

Dengan adanya kenaikan harga BBM ini sudah dapat dipastikan akan membawa efek domino terhadap kegiatan ekonomi di sektor yang lain. Pertama, sudah terjadinya tekanan pada pasar saham dan obligasi jangka pendek. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengumumkan rencana kenaikan harga BBM pada 22 Februari 2012 lalu, mata uang rupiah langsung melemah 1,3 persen terhadap dolar AS dan Indeks harga saham gabungan (IHSG) juga turun 3,4 persen.

Kedua, kenaikan harga BBM sudah tidak bisa lagi ditolak oleh pelaku industri, baik industri tekstil, manufaktur dan lain-lain. Hal ini sangatlah berpengaruh terutama pada biaya produksi ditambah upah pekerja yang naik secara periodik tahunan akibat barang-barang kebutuhan yang naik, tentu perusahaan akan melakukan pengurangan jam kerja atau menurunkan volume produksi mereka.

Ketiga, walaupun pemerintah masih dalam pembahasan, hal ini sudah ditanggapi oleh para pelaku pasar (pedagang) sembilan bahan pokok (sembako) dengan mulai menaikan harga bahan pokok tersebut. Seperti pantauan beberapa media di kota Surabaya, kota Batam, kota Batu harga gula pasir, minyak goreng curah, tepung terigu dan telur ayam rata-rata sudah mulai merangkak naik Rp 1.000.

Permasalahan yang pokok adalah ketegasan pemerintah. Kenaikan harga BBM memang diperlukan, dari opsi-opsi yang ada harus cepat diambil keputusan yang paling tepat. Mobil pelat hitam harus lebih didisiplinkan untuk tidak menggunakan BBM bersubsidi. Selain itu praktik ilegal penjualan dan penimbunan BBM juga harus terus diberantas, sudah sekian banyak pemerintah kecolongan. Program penghematan dan konversi BBM ke BBG lebih dikembangkan lagi mengingat masih banyaknya sumber gas yang lebih murah di dalam negeri. Pembangunan infrastruktur untuk menunjang roda ekonomi harus segera dikerjakan.




Referensi Bacaan :