Toni Prasetyo Utomo
Gambar : hpjijakarta.com |
Jika melihat pertumbuhan ekonomi saat ini yang mencapai 6,5 persen pada
2011, sudah seharusnya didukung oleh infrastruktur yang baik guna mempercepatan
penyebaran ekonomi yang merata diseluruh Indonesia. Memang infrastruktur sudah lama
menjadi salah satu masalah utama bagi Indonesia. Minimnya pendanaan yang
dialokasikan untuk program ini merupakan salah satu penghambatnya.
Dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 dan status layak
investasi yang belakangan disandang oleh Indonesia seharusnya bisa menjadi
stimulus untuk mengundang investor untuk berinvestasi, terutama di bidang
infrastruktur. Infrastruktur penting karena erat kaitannya dengan daya saing
produk Indonesia.
Saat ini peringkat daya saing Indonesia memiliki peringkat yang masih
bisa dikatakan baik, yaitu peringkat 44. Namun yang disayangnyan peringkat
untuk infrastrukturnya, Indonesia masih berada jauh dibawah pada peringkat 82.
Rasanya hal ini tak berlebihan apabila melihat kondisi infrastruktur yang ada
di daerah, khususnya jalan dan jembatan.
Terjadinya beberapa insiden ataupun bencana infrastruktur dibeberapa
daerah mulai dari runtuhnya Jembatan Kutai Kertanegara (Kukar), banyaknya
jalan-jalan yang bolong antar daerah, jumlah pelabuhan yang masih minim,
menunjukan betapa buruknya manajemen pengelolaan infrastruktur pemerintah
negeri ini. Tersedianya fasilitas dan sarana-prasarana yang merata di seluruh
wilayah akan mempercepat terciptanya keseimbangan pemerataan pembanguan di
daerah.
Dengan adanya keterbatasan infrastruktur tersebut akan
menyebabkan terjadinya gangguan dalam distribusi barang dan jasa dari pihak
produsen ke pihak konsumen di daerah-daerah. Dampaknya implikasi ongkos yang
dikeluarkan perusahaan menjadi lebih mahal. Perusahaan di Indonesia
mengeluarkan biaya transportasi sekitar 30 persen dari total biaya produksi,
coba kita bandingkan dengan negara kompetitor. Misalnya, China hanya
mengeluarkan sekitar 12 persen dari total biaya produksinya.
Didik J. Rachbini yang saat ini sebagai Ketua Lembaga
Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Kamar Dagan dan Industri Indonesia mencacat
bahwa realisasi belanja infrastruktur 2011 masih belum maksimal. Hingga akhir
2011, belanja ingrastruktur pemerintah Cuma Rp 32,7 triliun atau 2 persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara.
Bahkan akhir-akhir ini Bank Pembanguna Asia (Asian Development Bank/ADB) menilai
pemerintah Indonesia saat ini terlalu irit dalam mengalokasikan anggarannya
untuk infrastruktur dibandingkan dengan zaman Orde Baru. Anggaran infrastruktur
saat ini masih kurang dari 4-5 persen dari PDB Indonesia.
Namun, dengan batalnya kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) per 1 April kemarin mendatangkan sedikit masalah tersendiri bagi
pemerintah. Kalaupun BBM bakal naik pada tanggal tersebut maka dana untuk
pengembangan infrastruktur akan meningkat. Tetapi, yang terjadi justru
sebaliknya. Harga BBM batal naik, yang kemudian terjadi adalah pemerintah harus
memperketat pengeluarannya agar anggaran fiskal tetap sehat.
Indonesia pada tahun ini akan menjadi tuan rumah
penyelenggaraan Asia Pacific Ministerial
Conference on Sustainable and Inclusive Infrastucture Development 2012
(APMC-SIID`12). Kegiatan ini akan bersamaan dengan Indonesia International Infrastucture Conference and
Exhibition 2012 (IICE`12) di Jakarta Convention
Center dari 2-5 Mei 2012.
Seharusnya konferensi tersebut bisa digunakan secara
maksimal oleh pemerintah Indonesia untuk memperkenalkan peluang investasi
penting yang ada kepada sektor bisnis, para ahli dan pemerintah dari berbagai
negara di kawasan Asia Pasifik.
Menurut Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia,
Suryo Bambang Sulisto, dana yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur di
Indonesia senilai Rp. 1.786 triliun. Rinciannya, Rp 681 triliun untuk listrik
dan energi, Rp 339 triliun untuk jalan raya, Rp 326 triliun untuk rel kereta
api, serta Rp 242 triliun untuk teknologi informasi dan komunikasi.
Sedangkan menurut Badan Perencanaan Pembangunan
nasional (Bappenas), tahun ini pemerintah Indonesia menyiapkan dana sebesar Rp
204,7 triliun (US $ 22,3 miliar) dalam program pembangunan infrastruktur. Nilai
ini sejalan dengan target untuk mengalokasikan minimal 3 % dari total Gross Domestic Product (GDP).
Yang sedikit membahagiakan adalah hari ini
(12/04/2012), Indonesia terpili menjadi negara favorit untuk berinvestasi.
Kesimpulan ini berdasarkan hasil survey yang dilakukan Dewan Penasehat Bisnis
ASEAN (ASEAN Business Advisory Council/ABAC).
Diikuti oleh Vietnam yang menduduki posisi kedua, kemudian Singapura, Malaysia,
dan Thailand.
Survei ABAC ini juga mengukur tingkat ketertarikan
investasi suatu negara dalam skala 0-10. Indonesia juga meraih nilai tertinggi
yaitu 6,68. Diikuti oleh Vietnam yang mendapat nilai 6,29. Sementara singapura
mendapat nilai 6,07. Kemudian Thailand dan Malaysia yang masing-masing mendapat
nilai 6,04 dan 5,69.
Untuk itulah sudah menjadi tanggung jawab kita bersama
untuk terus membangun infrastruktur guna menjalankan roda perekonomian yang
ada. Hal ini tentu membutuhkan peranan pemerintah sekaligus swasta. Selain itu
pemerintah diharapkan mempu memperkuat peranannya dalam hal kepastian usaha,
jaminan, tanah dan perizinan. Semua itu harus cepat diselesaikan agar iklim
investasi menjadi lebih baik kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA :
Tiada ulasan:
Catat Ulasan