Sabtu, 31 Mac 2012

Virus Demo Anarkis Anti Kenaikan Harga BBM

TONI PRASETYO UTOMO*


Gambar : antarafoto.com
Tinggal menghitung hari untuk mengetok palu kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) bersubsidi. Tampaknya semakin dekat hari penetapan kenaikan harga BBM, semakin panas pula keadaan dijalanan. Yakni dengan unjuk rasa anti kenaikan BBM yang melibatkan masa dalam jumlah yang besar di berbagai daerah di Tanah Air.

Kebijakan pemerintah untuk menaikan harga BBM pada 1 April mendatang dinilai akan menambah penderitaan masyarakat. Penjelasan pemerintah bahwa upaya penghematan anggaran dari subsidi BBM harus dilakukan untuk menekan APBN membengkak karena harga minyak dunia yang terus meroket, tidak bisa diterima masyarakat luas.

Kompensasi yang dijanjikan pemerintah pun dinilai kurang menyentuh pada akar permasalahan. Seperti BLSM (Bantuan Langsung Tunai Masyarakat) sebesar Rp 150.000 selama sembilan bulan. BLSM dinilai kurang produktif dan tidak tepan sasaran. Bantuan ini hanya untuk menjaga daya beli masyarakat miskin ketika terjadi inflasi paska kenaikan harga BBM saja, selain itu tak ada yang banyak berubah.

Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah menyepakati rincian paket kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi senilai Rp 25,6 triliun yang dipecah menjadi 3 program. Ketiga program itu adalah BLSM sebesar Rp 17,08 triliun, bantuan pembangunan infrastruktur pedesaan Rp 7,88 triliun dan tambahan anggaran program Keluarga Harapan Rp 591,5 miliar.

Ketika penyaluran aspirasi lewat pimpinan daerah ataupun para wakil rakyat tak terlihat membuahkan hasil, pihak-pihak yang menolak akhirnya melakukan aksi demo atau unjuk rasa. Mulai dari mahasiswa, anggota dewan dan sejumlah pejabat daerah itu sendiri.
Demonstrasi yang seharusnya aman dan tertib justru menjadi demo yang melewati batas-batas kepatutan. Baik karena aspirasi mereka yang dianggap angin lalu ataupun dari ulah para provokator yang menyulut kemarahan diantara mereka.



Demo Bermartabat dan Beretika

Memang demo itu menjadi sesuatu yang ‘halal’ untuk menyampaikan aspirasi masyarakat. Semangat untuk berpartisipasi dalam demokrasi kita memang masih begitu kuat. Setelah era rezim orde baru tergulingkan pada 1998. Hingga tahun keempat belas ini kita masih mempunyai banyak energi untuk marah kepada penguasa. Seperti sudah menjadi kebudayaan, setiap ada kenaikan harga BBM sudah pasti ada suasana panas di jalalan. Dan selama dengan cara demo pun harga BBM tetap naik alias tak bisa menahan kenaikan harga BBM.

Namun yang disayangkan adalah ketika saluran untuk menyampaikan aspirasi tersebut tercemar oleh “virus anarkis”. Dan justru tindakan anarkis dari para pendemo ini yang merugikan masyarakat. Lihat saja, seperti pemblokiran Bandara Polonia, Medan oleh massa yang berunjuk rasa menolak kenaikan BBM.

Dampak yang terjadi dari kegiatan tersebut adalah para calon penumpang gagal untuk berangkat ke tempat tujuannya karena beberapa maskapai menunda jadwal penerbangan dengan alasan keamanan bandara yang sedang terganggu.

Lain lagi aksi anarkis yang terjadi di Makasar. Mereka menghadang mobil truk pengangkut minuman, menjarah isi angkutan dan kemudian membakar mobil tersebut, pemblokiran sejumlah SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum). Akhirnya bentrok antara aparat keamanan dengan massa pun tak bisa dihindari lagi.

Yang tak kalah menarik untuk dicermati adalah keikut sertaan dua pimpinan daerah yang ikut menentang pemerintah. Kepala daerah yang ikut demo menentang pemerintah pusat sebenarnya sangat tidak etis, tidak pantas, dan tidak sopan. Kalau seorang kepala daerah bisa melakukan apapun seperti rakyat kebanyakan, untuk apa mereka diangkat menjadi pimpinan daerah. Namanya pemerintah daerah seharusnya mengikuti apa yang ditetapkan pemerintah pusat, bukan sebaliknya.
Kalaupun kebijakan itu dinilai membebani daerah, sudah sepatutnya mereka menggunakan kekuasaannya untuk mengurangi beban rakyat. Misalnya lewat mekanisme perubahan APBD. Pemerintah daerah bisa ikut mengusulkan seberapa porsi pemberian bantuan untuk rakyat miskin, pendanaan infrastruktur dan bantuan pendidikan.

Bukan lagi dukungan yang diberikan akan tetapi solusi. Kesiapan menerima sanksi apapun apabila mereka dipecet sungguh bukan alasan yang tepat dan cerdas. Justru sikap yang seperti itu akan dimaknai sebagai retorika politik pencitraan semata. Sungguh disayangkan.

Massa yang sejatinya ingin berdemo untuk mengurangi konsumsi BBM justru berperilaku sebaliknya. Mereka menggunakan kendaraan bermotor dan memainkan gas seenak hatinya sendiri. Hal ini nyata dilakukan oleh mayoritas pendemo, lantas sudah berapa banyak bahan bakar yang seharusnya dihemat, malah menguap begitu saja tanpa membuahkan hasil apapun.

Jika kita mau menelaah lebih jauh, sudah kelihatan kalau saluran aspirasi yang utama belum sepenuhnya matang. DPR masih menikmati kebahagiaan dan kekuasaannya, pemerintah juga belum bisa merealisasikan berbagai tuntutan hukum dari masyarakat.

Apa mungkin kita telah lupa bahwa sebenarnya kita sudah memilih DPR sebagai wakil kita disana. Kita sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit jumlahnya. Ratusan juta, bahkan milyaran dana yang kita keluarkan untuk mendanai berbagai kegiatan mereka di parlemen. Mulai dari fasilitas penginapan, transportasi yang luar biasa bagusnya ketika melakukan kunjungan kerja baik dalam negeri ataupun luar negeri. Tetapi lihat saja tingkah laku mereka, sungguh tak mencerminkan apa yang sebenarnya diinginkan masyarakat dan sering bertentangan dengan akal sehat.

Kalaupun opsi kenaikan harga BBM tidak bisa dihindari. Seharusnya mereka harus memberikan syarat-syarat yang tegas. Ketika pemerintah membebani masyarakat dengan pengurangan subsidi, anggaran dari pengurangan subsidi yang dihemat itu harus jelas penggunaanya untuk dialihkan pada hal yang lain yang memberi manfaat kepada masyarakat nantinya. Memang jika kita mengharapkan wakil rakyat yang terhormat untuk bertindak secara profesional masih sangat sulit.
Selama ini ketika ada demo yang lebih nampak bukan manfaatnya, akan tetapi lebih terlihat mudaratnya. Banyaknya sarana dan prasarana yang dirusak bahkan dibakar massa. Kebisingan dan kemacetan yang ditimbulkan juga tak kalah merugikan.

Lagi-lagi masyarakatlah yang dirugikan dari perilaku-perilaku massa seperti diatas. Demokrasi yang sejatinya diharapkan agar ada keselarasan antara pemerintah dan rakyat justru menimbulkan suatu perilaku yang tidak etis dan tidak bermoral. Bahkan ada yang mengatakan kalau demokrasi di negara ini sudah kebablasan karena ketika ada demo pasti diikuti oleh tindakan anarkis yang tidak bertanggung jawab.

Apa mungkin pemerintah yang menaikan harga BBM ini hanya ingin memanfaatkannya untuk hal-hal yang percuma. Kebijakan ini justru melemahkan partai penguasa saat ini. Mari kita berfikir positif, Indonesia sudah bukan lagi negara penghasil minyak yang bisa menyediakan minyak dalam jumlah yang cukup dengan harga yang relatif rendah.

Cadangan minyak Indonesia tiap tahun terus merosot dan tidak bisa mencapai target produksi yang ditetapkan. Sementara, besaran konsumsi BBM dari masyarakat terus meningkat setiap tahunnya. Tentu wajar kalau pemerintah menaikan harga BBM karena sebagian persediaan minyak berasal dari impor luar negeri. Sebagai konsekuensinya kalau harga minyak dunia meningkat, minyak dalam negeripun juga harus naik untuk menjaga agar APBN tetap sehat.



DAFTAR PUSTAKA :
Koran Detik Sore, edisi Rabu, 28 Maret 2012.
Koran Jawa Pos, edisi Selasa, 27 Maret 2012.
Koran Jawa Pos, edisi Kamis, 29 Maret 2012.
Koran Kompas, edisi Selasa, 27 Maret 2012.
Koran Kompas, edisi rabu, 28 Maret 2012.
Koran Kompas, edisi Kamis, 29 Maret 2012.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan