Oleh : Toni Prasetyo Utomo
Gambar : antarafoto.com |
Hari Buruh Sedunia yang
berlangsung pada 1 Mei kemarin kembali dijadikan para buruh untuk
memperjuangkan nasibnya. Berbagai aspirasi ingin disampaikan oleh para buruh
kepada pemerintah agar punya komitmen yang serius untuk memperbaiki nasib
mereka selama ini, atas ketidakadilan yang diberikan pengusaha.
Kegiatan Mayday ini sudah
lama dilakukan. Sejarah mencatat, kegiatan ini bermula dari gerakan buruh pada
akhir aBad ke-19. Pada 1 Mei 1886, sejumlah serikat buruh di Amerika Serikat
melakukan aksi besar-besaran menuntut jam kerja dikurangi menjadi delapan jam
per hari. Demonstrasi ini berakhir rusuh dilapangan Haymarket, Chicago, 4 Mei,
yang menewaskan belasan orang dan mencederai lebih dari 100 lainnya. Pada 1889,
organisasi yang dibentuk kelompok sosialis di Eropa dan Amerika, memaklumkan 1
Mei sebagai Hari Buruh (Jawa Pos
02/05/2012).
Di Indonesia juga
merupakan hal yang lazim dilakukan, mulai dari zaman kolonial Belanda bahkan
hingga sekarang. Kecuali pada era Orde Baru (1996-1998). May Day dilarang
pemerintahan Presiden Soeharto karena dianggap berbau komunis. Tapi, pasca
Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, May Day kembali menjadi hari besar
lagi bagi kaum buruh, entah buruh migran maupun domestik, petani, nelayan,
serta kelompok marginal di perkotaan.
Indonesia memang merupakan
mempunyai pasar tenaga kerja yang luar biasa jumlahnya. Tetapi dengan besarnya
jumlah tenaga kerja tersebut juga menjadi permasalahan tersendiri. Misalnya
tingkat kesejahteraan kaum buruh, jaminan keamanan pekerja di luar negeri.
Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, pada tahun
2011, kecelakaan kerja yang terjadi di seluruh Indonesia mencapai 99.491 kasus
dengan 1.965 korban jiwa dan hampir 30 ribu lainnya mengalami cacat tubuh.
Ribuan buruh tersebut
berasal dari berbagai elemen, antara lain, Konfederasi Serikat Pekerja
Indonesia (KSPI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), serikat
Pekerja Nasional (SPN), dan Federasi Buruh Indonesia (FBI). Ada beberapa
tuntutan yang mereka ajukan kepada pemerintah. Tuntutan itu antara lain, menjalankan
jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat pada 1 Januari 2014 dan jaminan pensiun
pada 1 Juli 2014. Mereka menuntut pemerintah untuk merevisi Permenakertrans
Nomor 17/2005 tentang Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KLH).
Selain itu, para buruh
juga menuntut adanya subsidi negara melalui APBD/APBN. Selama ini tidak ada
subsidi buruh, diantara penerimaan APBN Rp 1,400 triliun, 79 persen dari pajak,
27 persen dari pungutan PPh pasal 21 dari buruh. Itu artinya para buruh
menyumbang Rp 200 triliun tiap tahunnya. Petani ada subsidi pupuk, nelayan
mendapat subsidi silar, dan orang miskin mendapat subsidi dalam bentuk BLT
(Bantuan Langsung Tunai), raskin (beras miskin), sedangkan buruh tidak mendapat
apa-apa.
Permasalahan outsourching juga tidak luput
disampaikan pada hari tersebut. Selama ini pekerja sering menjadi korban dari
para pengusaha nakal yang menjadikannya sebagai mesin penghasil uang tanpa
memperhatikan nasib dan kesejahteraan mereka. Seperti yang diungkapkan Ketua Bidang Informasi dan Hubungan
Masyarakat, Asosiasi Outsourcing Indonesia, Reza Maspaitella, yang salah kaprah
di Indonesia mengenai pekerja outsourching
yaitu disalah gunakan untuk menekan biaya operasional dengan tidak adanya
karyawan tetap. Sistem outsourching seharusnya bisa menjadi hal yang saling
menguntungkan bagi pekerja dan juga perusahaan itu sendiri, tetapi pekerja
lebih sering dirugikan.
Tingkat kesejahteraan buruh juga masih jauh dari harapan. Betapa tidak,
dibeberapa daerah masih dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Sehingga tak perlu
heran jika beberapa bulan lalu banyak buruh di Tangerang yang mogok kerja dan
turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Dan dampak negatifnya, beberapa investor
yang rencananya menanamkan modalnya di Indonesia kabur karena keadaan yang
seperti ini.
Yang juga perlu menjadi perhatian pemerintah adalah minimnya jaminan
keamanan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang berada diluar negeri. Begitu banyak
TKI yang menjadi korban kejahatan dari majikan ditempat kerja mereka. Bahkan,
ada yang dipulangkan ke kampung halaman tinggal namanya saja, sudah menjadi
jenazah. Yang masih hangat dalam pemberitaan adalah meninggalnya tiga TKI yang
berasal dari Lombok Timur, NTB, tewas di Malaysia. Korban yang baru tiga pekan
berada di negeri jiran tersebut konon kabarnya, organ-organ penting dalam tiga
jenazah itu sudah diambil dan diperjual-belikan. Namun otopsi dari Polri
mementahkan dugaan itu.
Ironis memang, begitu besarnya risiko kerja mereka tidak dibarengi
dengan adanya jaminan perlindungan dari pemerintah. Kedepan, harus dipastikan
adanya jaminan perlindungan hukum agar tindakan kriminal dan juga hilangnya
nyawa pekerja tidak terjadi lagi, ini merupakan tugas rumah bagi pemerintah
khususnya Kemenkertrans, adalah menyiapkan perlindungan hukum yang bisa
diandalkan para buruh kita.
Besarnya pasar tenaga kerja dalam negeri seharusnya bisa dimanfaatkan
maksimal oleh pemerintah untuk mengoptimalkan kemampuan kerja mereka. Seperti
lebih dimaksimalkan lagi adanya lembaga pendidikan dan pelatihan tenaga kerja
yang selama ini ada. Sehingga kedepan, tenaga yang kita hasilkan bukan hanya
pembantu rumah tangga saja, yang selama ini mendapat perlakuan semena-mena.
Pekerja dilatih sesuai kemampuan yang mereka punya kemudian memberikan
pekerjaan sesuai dengan keahliannya tadi.
Tidak salah memang ketika para buruh menuntut hak, namun harus diimbangi
dengan hasil kerja yang sepadan. Dengan peningkatan kerja atau produksi,
hak-hak akan terpenuhi dan pada ujungnya akan meningkatkan kesejahteraan
pekerja. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Emil Salim
mengatakan bahwa semua pengusaha dan pekerja harus saling bekerja sama dengan
baik untuk menghasilkan barang dan jasa per orang yang lebih tinggi dari
Republik Rakyat Tiongkok/ China, India, dan Korea. Dengan demikian daya saing
kita kepada negara lain juga ikut menguat.
DAFTAR
PUSTAKA :
Koran Jawa Pos, Edisi Senin
1 Mei 2012.
Koran Jawa Pos, Edisi
Senin 2 Mei 2012.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan