Khamis, 3 Mei 2012

May Day, Buruh Perjuangkan Nasibnya


Oleh : Toni Prasetyo Utomo


Gambar : antarafoto.com
Hari Buruh Sedunia yang berlangsung pada 1 Mei kemarin kembali dijadikan para buruh untuk memperjuangkan nasibnya. Berbagai aspirasi ingin disampaikan oleh para buruh kepada pemerintah agar punya komitmen yang serius untuk memperbaiki nasib mereka selama ini, atas ketidakadilan yang diberikan pengusaha.

Kegiatan Mayday ini sudah lama dilakukan. Sejarah mencatat, kegiatan ini bermula dari gerakan buruh pada akhir aBad ke-19. Pada 1 Mei 1886, sejumlah serikat buruh di Amerika Serikat melakukan aksi besar-besaran menuntut jam kerja dikurangi menjadi delapan jam per hari. Demonstrasi ini berakhir rusuh dilapangan Haymarket, Chicago, 4 Mei, yang menewaskan belasan orang dan mencederai lebih dari 100 lainnya. Pada 1889, organisasi yang dibentuk kelompok sosialis di Eropa dan Amerika, memaklumkan 1 Mei sebagai Hari Buruh (Jawa Pos 02/05/2012).

Di Indonesia juga merupakan hal yang lazim dilakukan, mulai dari zaman kolonial Belanda bahkan hingga sekarang. Kecuali pada era Orde Baru (1996-1998). May Day dilarang pemerintahan Presiden Soeharto karena dianggap berbau komunis. Tapi, pasca Presiden Soeharto lengser pada 21 Mei 1998, May Day kembali menjadi hari besar lagi bagi kaum buruh, entah buruh migran maupun domestik, petani, nelayan, serta kelompok marginal di perkotaan.

Indonesia memang merupakan mempunyai pasar tenaga kerja yang luar biasa jumlahnya. Tetapi dengan besarnya jumlah tenaga kerja tersebut juga menjadi permasalahan tersendiri. Misalnya tingkat kesejahteraan kaum buruh, jaminan keamanan pekerja di luar negeri. Menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, pada tahun 2011, kecelakaan kerja yang terjadi di seluruh Indonesia mencapai 99.491 kasus dengan 1.965 korban jiwa dan hampir 30 ribu lainnya mengalami cacat tubuh.

Ribuan buruh tersebut berasal dari berbagai elemen, antara lain, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), serikat Pekerja Nasional (SPN), dan Federasi Buruh Indonesia (FBI). Ada beberapa tuntutan yang mereka ajukan kepada pemerintah. Tuntutan itu antara lain, menjalankan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat pada 1 Januari 2014 dan jaminan pensiun pada 1 Juli 2014. Mereka menuntut pemerintah untuk merevisi Permenakertrans Nomor 17/2005 tentang Komponen Kebutuhan Hidup Layak (KLH).

Selain itu, para buruh juga menuntut adanya subsidi negara melalui APBD/APBN. Selama ini tidak ada subsidi buruh, diantara penerimaan APBN Rp 1,400 triliun, 79 persen dari pajak, 27 persen dari pungutan PPh pasal 21 dari buruh. Itu artinya para buruh menyumbang Rp 200 triliun tiap tahunnya. Petani ada subsidi pupuk, nelayan mendapat subsidi silar, dan orang miskin mendapat subsidi dalam bentuk BLT (Bantuan Langsung Tunai), raskin (beras miskin), sedangkan buruh tidak mendapat apa-apa.

Permasalahan outsourching juga tidak luput disampaikan pada hari tersebut. Selama ini pekerja sering menjadi korban dari para pengusaha nakal yang menjadikannya sebagai mesin penghasil uang tanpa memperhatikan nasib dan kesejahteraan mereka. Seperti yang diungkapkan Ketua Bidang Informasi dan Hubungan Masyarakat, Asosiasi Outsourcing Indonesia, Reza Maspaitella, yang salah kaprah di Indonesia mengenai pekerja outsourching yaitu disalah gunakan untuk menekan biaya operasional dengan tidak adanya karyawan tetap. Sistem outsourching seharusnya bisa menjadi hal yang saling menguntungkan bagi pekerja dan juga perusahaan itu sendiri, tetapi pekerja lebih sering dirugikan.

Tingkat kesejahteraan buruh juga masih jauh dari harapan. Betapa tidak, dibeberapa daerah masih dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Sehingga tak perlu heran jika beberapa bulan lalu banyak buruh di Tangerang yang mogok kerja dan turun ke jalan untuk berdemonstrasi. Dan dampak negatifnya, beberapa investor yang rencananya menanamkan modalnya di Indonesia kabur karena keadaan yang seperti ini.

Yang juga perlu menjadi perhatian pemerintah adalah minimnya jaminan keamanan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang berada diluar negeri. Begitu banyak TKI yang menjadi korban kejahatan dari majikan ditempat kerja mereka. Bahkan, ada yang dipulangkan ke kampung halaman tinggal namanya saja, sudah menjadi jenazah. Yang masih hangat dalam pemberitaan adalah meninggalnya tiga TKI yang berasal dari Lombok Timur, NTB, tewas di Malaysia. Korban yang baru tiga pekan berada di negeri jiran tersebut konon kabarnya, organ-organ penting dalam tiga jenazah itu sudah diambil dan diperjual-belikan. Namun otopsi dari Polri mementahkan dugaan itu.

Ironis memang, begitu besarnya risiko kerja mereka tidak dibarengi dengan adanya jaminan perlindungan dari pemerintah. Kedepan, harus dipastikan adanya jaminan perlindungan hukum agar tindakan kriminal dan juga hilangnya nyawa pekerja tidak terjadi lagi, ini merupakan tugas rumah bagi pemerintah khususnya Kemenkertrans, adalah menyiapkan perlindungan hukum yang bisa diandalkan para buruh kita.

Besarnya pasar tenaga kerja dalam negeri seharusnya bisa dimanfaatkan maksimal oleh pemerintah untuk mengoptimalkan kemampuan kerja mereka. Seperti lebih dimaksimalkan lagi adanya lembaga pendidikan dan pelatihan tenaga kerja yang selama ini ada. Sehingga kedepan, tenaga yang kita hasilkan bukan hanya pembantu rumah tangga saja, yang selama ini mendapat perlakuan semena-mena. Pekerja dilatih sesuai kemampuan yang mereka punya kemudian memberikan pekerjaan sesuai dengan keahliannya tadi.

Tidak salah memang ketika para buruh menuntut hak, namun harus diimbangi dengan hasil kerja yang sepadan. Dengan peningkatan kerja atau produksi, hak-hak akan terpenuhi dan pada ujungnya akan meningkatkan kesejahteraan pekerja. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) Emil Salim mengatakan bahwa semua pengusaha dan pekerja harus saling bekerja sama dengan baik untuk menghasilkan barang dan jasa per orang yang lebih tinggi dari Republik Rakyat Tiongkok/ China, India, dan Korea. Dengan demikian daya saing kita kepada negara lain juga ikut menguat.













DAFTAR PUSTAKA :

Koran Jawa Pos, Edisi Senin 1 Mei 2012.
Koran Jawa Pos, Edisi Senin 2 Mei 2012.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan